web analytics

Hati-hati Mempermalukan Orang di Publik; Apa Gunanya?

Oleh: Suardi, S.Sos, M.I.Kom

Ini kisah seorang Dosen Purnabakti yang sedang berada diruang tunggu sebuah Bandara. Tiba-tiba Dosen tua ini dihampiri seorang lelaki muda. Penampilannya, necis rapi dan berwibawa. Sambil mengulurkan tangan dan menciumnya, lelaki muda itu berkata.. “masih ingat saya ndak Pak?

Dosen purna itu pun kaget, sambil tersenyum ramah. “Saya  Salim murid Bapak dulunya.. tepatnya di universitas dan prodi itu loh pak”..!  ungkap lelaki muda. Menyebutkan universitas tempat sang dosen tua mengabdi dulu. Oh ya, ungkap sang dosen tua ramah, sambil mengusap-usap punggung anak muda itu dan mempersilahkan duduk disampingnya.

Lelaki muda itu pun duduk sambil melanjutkan ceritanya. “Gara-gara bapak saya sekarang juga mengajar di salah satu universitas Negeri” ungkapnya menyebutkan Universitas terkemuka di ibu kota. “Padahal, sebelumnya saya tak pernah berniat jadi dosen loh pak. Namun Bapak telah menginspirasi saya. Bapak telah merubah hidup dan cara pandang saya. Telah merubah saya menjadi orang baik. Itulah yang saya pahami dari seorang pengajar. Dimana dosen itu mengajarkan kebaikan. Saya mendapatkan itu dari bapak, kemudian memotivasi saya untuk menjadi dosen juga” ungkapnya.

Lah..gimana ceritanya? Timpal sang Dosen tua. Bapak ingat ndak? Dilokal kita dulu kan ada 24 mahasiswa termasuk saya. Suatu hari Monika, anak orang kaya di kelas kita, kehilangan jam tangan mewahnya. Itu terjadi saat jam mata kuliah bapak. Monika kemudian melapor ke Bapak. Dimana saat ia izin ke Toilet dan kembali, jam tangannya sudah tak ada ditempat semula.

Saat itu Bapak sempat nanya, ini siapa pula yang nyuri jam tangan Monika di lokal ini?  Itulah pak, padahal jam tangannya tadi ditaruh dekat tas saya. Namun pas kembali sudah tak da lagi. Ungkap Monika memelas. Suasana ruang kelas pun berubah seketika jadi hening.

Saya ingat betul, bapak saat itu menyuruh semua kami berdiri. Dengan menaruh tas masing-masing disamping dan semuanya harus memejamkan mata. Awas tak ada yang boleh membuka mata, termasuk Monika. Bapak pun memeriksa kami semua satu per satu, sampai akhirnya bapak menyampaikan bahwa jam tangan itu telah ditemukan. Barulah semuanya boleh membuka mata.

Terang saja, saat itu itu Monika dan teman-teman lainnya bertanya. Siapa yang mengambil pak? “ Ahh… kalian tak perlu tahu yang penting jamnya telah ditemukan. Silahkan dipakai, lain kali hati-hati. Jaga barang-barang berharga kalian” pesan Bapak saat itu.

Padahal yang nyuri itu sayalah orangnya pak. Makanya saya saat itu sudah pasrah. Mungkin ini akhir masa depan saya. Juga akhir harapan kedua orang tua saya, melihat saya jadi Sarjana. Pokoknya saat itu saya berpikir semuanya akan kacau. Bapak mungkin orang pertama yang akan saya cari, untuk melampiaskan semuanya.

Karena sebenarnya yang membuat saya gelap mata saat itu, akibat terdesak membayar uang kuliah. Dimana dua hari lagi akan jatuh tempo. Sementara hingga hari itu orang tua saya menelpon, belum ada uang sama sekali. Tapi mereka tetap akan berupaya. Ketika melewati meja Monika, saya melihat jamnya diletakkan begitu saja. Saya pun nekat mencurinya.

Saat itu saya siap malu, tapi bapak seakan telah menyelamatkan saya. Memberi saya kesempatan kedua.

Keluarga saya orang miskin. Tapi alangkah malunya Ayah saya jadinya. Telah bekerja keras menguliahkan saya dengan biaya pas-pasan pula. Bukannya menjaga nama baik mereka, malah menjadi seorang pencuri, mencoreng muka mereka.

Hampir hancur hidup saya. Saya sangat gemetaran saat bapak memeriksa saya. Saya tau ketika bapak mendapatkan jam itu dari saku saya, tapi bapak masih melanjutkan memeriksa teman-teman lainnya. Tentunya demi menyelamatkan muka saya yang nyata-nyata bersalah.

Sejak itu saya ingin sekali jadi dosen seperti bapak. Tidak hanya mengajarkan pelajaran kuliah, tapi ilmu hidup yang berharga. Menurut saya, itulah tugas dosen yang paling utama. Alhamdulillah pak,  akhirnya saya ditakdirkan lulus jadi PNS Dosen pula. Sampai saat ini, ingin sekali seperti bapak menjadi inspirasi bagi murid-murid saya.

Gimana menurut anda kisah diatas? Mungkin hanya sebuah “lagu” lama. Ada orang yang tak ingin mempermalukan  orang lain yang nyata-nyata sudah terbukti bersalah. Tapi sebenarnya ada yang lebih hebat dari kisah ini. Ketika Dosen tua itu mengatakan. “Salim, tau ndak, sebenarnya saat itu saya juga tak tau kalau kamu yang mencuri jam tangan itu. Wong saat saya memeriksa semua murid saya, saya juga tutup mata”. Ungkap sang dosen tua itu.

Ini sebuah kisah gila. Mungkin juga langka. Atau Sekaligus menyanyah bagi sebagian kita. Apalagi ditengah Sosial Media yang kini luar biasa. Mempermalukan orang seakan telah menjadi gaya dan budaya. Mungkin juga kenikmatan yang luarbiasa.  Karena setiap orang kini punya kekuatan media. Hanya orang bodoh saja yang tak menggunakannya.

Namun ingat,  dibalik kekuatan besar, pasti ada tanggung jawab yang besar pula. Ini yang mesti kita sadari bersama. Jurnalistik sendiri sebagai pemilik asli kekuatan besar tersebut pun, sangat berhati-hati dalam menggunakannya.

Hal ini tercermin dalam kajian-kajian  Jurnalistik terkait Jurnalism and public shaming yang sampai saat ini kembali jadi perhatian bersama. Mengingat dampak buruk yang dapat ditimbulkannya. Salah satunya seperti yang disuarakan jurnalis dan tokoh terkemuka bidang etika media dan demokrasi dunia, Kelly McBride.

Dimana mengutip pendapat Jon Robinson di New York Time (2015). Mempermalukan orang di publik, adakalanya menjadi mulia jika tidak disertai kepentingan pribadi atau kelompok.  Namun bagaimanapun, jurnalistik yang mengambil sudut pandang mempermalukan orang di publik tetap tak bisa dibenarkan secara etika. Hal ini dikarenakan, dampaknya yang justru akan bisa memperburuk keadaan diluar keinginan kita.

Ryan Martin, ketua departemen Psikologi di Universitas Wisconsin Green Bay menyebutkan, fenomena mempermalukan orang di publik bisa menciptakan reaksi kimia di otak atau dikenal dengan validasi emosional. Baik pelaku maupun korbannya.

Memang dampak ringannya jika di media sosial, membuat orang kecanduan. Mereka akan menghabiskan waktu untuk berkomentar, membuli, bahkan berupaya mengumbar informasi terkait secara berlebihan. Bahkan bisa saja mendramatisir dengan berbagai kebohongan. Puncaknya, seseorang cenderung bertindak agresif di kemudian hari.

Dampak lebih parah,orang-orang yang terlibat public shaming ini bisa mengalami kerusakan mental. Akibatnya, jika ini terjadi pada orang-orang bermental lemah, bisa mengalami ketakutan yang berlebihan, keputusasaan, kehilangan akal sehat bahkan bunuh diri. Namun yang paling menakutkan dari  budaya atau kebiasaan  mempermalukan orang di depan publik ini, bisa saja menumbuhkan seorang pendendam atau penindas. Kemudian jika dibiarkan akan menjelma menjadi seorang  penderita gangguan kepribadian, kini dikenal dengan sebutan Narcistic Personality Disorder (NPD). Anda pasti sudah tau, karena belakangan NPD jadi viral dibahas di berbagai media sosial.

Inilah yang kemudian yang menjadi ketakutan Jurnalistik yang umumnya dibahas dalam kajian public shaming and Journalism. Dimana hal yang terkait dengan public shaming, tak bisa ditempuh dengan jurnalisme tingkat dasar atau medium. Jurnalisme yang hanya menyajikan fakta, sepotong-sepotong. Melainkan  jurnalisme lanjutan dalam bentuk investigasi mendalam. Paling tidak sebuah cerita utuh yang bisa menggambarkan situasi, sebab dan akibat.

Lalau bagaimana jika public shaming ini dilakukan dimedia sosial? Dimana cenderung hanya dipublikasikan sepotong-sepotong? Parahnya kebanyakan dilakukan atas dasar sentiment pribadi dan kepentingan golongan semata? Inilah yang patut jadi renungan kita bersama.

Islam sendiri ternyata sangat tegas terhadap hal ini. Sampai-sampai seorang muslim yang melakukan public shaming terhadap muslim lainnya, diibaratkan memakan bangkai saudaranya sendiri. Ustadz Prof Dr Abdul Somad, Lc, MA mengutip pendapat Imam Syafi’I dalam bukunya Mauizhat mengatakan;  “Kalau engkau menegur orang berdua, sesungguhnya engkau telah menasehatinya. Kalau engkau menegur orang di depan orang ramai, sesungguhnya engkau telah mempermalukannya”. Masih mau mempermalukan orang di depan publik?***

 

 

Suardi, S.Sos, M.I.Kom

Dosen jurnalistik, Prodi Komunikasi UIN Suska Riau