web analytics

Solusi Ekonomi Menurut Alquran (Ade Jamarudin)

Dosen Tafsir UIN Suska Riau

Munculnya wacana pemikiran tentang norma ekonomi terjadi sebagai dampak dari realita sistem perekonomian pada akhir-akhir ini yang cenderung mengabaikan nilai-nilai moralitas dan hanya terfokus pada masalah mengeruk keuntungan pribadi sebesar-besarnya. Dari persepsi semacam itulah kapitalisme menjadi sati sistem yang merajai seluruh sistem dalam dunia perekonomian. Sistem ekonomi kapitalis yang digali secara obyektif dari gejala yang muncul di masyarakatnya menghasilkan hukum ekonomi pasar dengan teori suply and demand yang tidak mempercayai dorongan moral yang subyektif. Ekonomi kapitalis ditandai dengan semangat egoisme dan sistem yang liberal, di mana manusia dipandang sebagai binatang ekonomi (homo-economicus) yang senantiasa mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.

Situasi inilah yang mendorong munculnya sistem ekonomi alternatif yang lebih manusiawi, antara lain sistem perekonomian Islami. Dalam Islam, persoalan ekonomi merupakan salah satu unsur yang tak terabaikan dalam tatanan hukum dan masyarakat. Di situ ada ajaran normatif dan moral perekonomian yang merupakan aspek penting dalam ajaran Islam.

Norma-norma Ekonomi Alquran
Alquran merupakan wahyu yang diturunkan dengan berbagai tujuan. Di antara tujuan tersebut adalah untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit dan penderitaan hidup serta pemerasan manusia atas manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan juga agama. Selain itu Alquran juga merupakan sumber ajaran Islam yang menyangkut semua dimensi kehidupan manusia. Dengan tujuan dan eksistensinya, Alquran merupakan sumber ajaran yang memuat nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur seluruh aktivitas manusia termasuk aktivitas ekonomi.

Berbeda dengan hewan, Allah swt menciptakan manusia tidak merasa cukup dengan terpenuhinya kebutuhan biologis. Manusia dalam hidupnya akan bekerja untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup yang primer seperti makanan, minuman, pakaian dan perumahan yang laik. Tetapi, ketika kebutuhan primer sudah terpenuhi, dia tidak akan puas dan akan terus berusaha untuk memiliki dan menguasai harta benda yang lebih banyak lagi. Sesuai dengan sebutan homo-economicus, manusia cenderung untuk memiliki berbagai kesenangan dan kenikmatan hidup, seperti pasangan dan turunan yang baik, rumah megah, kendaraan mewah, perhiasan yang indah, lahan usaha yang banyak. Semua kecintaan tersebut memang sudah menjadi naluri manusia yang Allah berikan untuk menjadi pemacu dalam usahanya untuk meraihnya dengan segala kemampuannya. Kecintaan manusia terhadap harta yang tidak pernah terpuaskan itu, banyak membuat manusia lupa seolah-olah harta merupakan tujuan bukan sarana. Di sini harta dapat membuat orang lalai terhadap hukum, kewajiban agama, negara, keluarga dan bahkan dirinya sendiri. Tetapi bagi manusia yang beriman, bahwa segala kenikmatan duniawi bukanlah segala-galanya. Bahwa tujuan jangka panjang adalah mempersiapkan hidup yang kekal di akhirat, sementara dalam jangka pendek harus bisa memanfaatkan hidup di dunia sebagaimana anugerah yang disediakan oleh Allah.

Alquran mengingatkan agar manusia tidak hanyut dan tenggelam dalam kehidupan yang materialis dan hedonis yang akan menghancurkan manusia, tetapi hal ini bukan berarti melarang manusia menikmati kehidupan. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad saw menyuruh untuk makan, minum, dan bersedekah serta berpakaian dengan tidak berlebihan dan tidak sombong, karena Allah senang melihat bekas nikmat-Nya itu ada pada hambanya.Menikmati kehidupan diperbolehkan dalam Islam, selama tidak merusak jiwa dan melanggar hukum, bahkan kita diajak untuk meraih kebaikan dunia dan akhirat. Dengan kebolehan ini kita dituntut untuk berkreasi dan berpikir dalam rangka mewujudkan kebudayaan yang maju. Kebolehan kita menikmati sebagian kesenangan duniawi ini, sejatinya harus diikuti dengan kesadaran diri bahwa orang lain yang belum mendapatkan kesempatan yang sama pun harus dapat merasakan sedikit dari yang dirasakan mereka yang sudah berhasil. Oleh karena itu, Alquran menegaskan bahwa harta dan kekayaan harus didistribusikan secara adil dan merata, tidak boleh berhenti atau berputar di kalangan elite saja. (QS Al-Hasyr: 7)

Harta tidaklah hanya untuk dimiliki, dikuasai dan dimanfaatkan sendiri, tetapi di sana ada fungsi sosial yang harus didistribusikan ke dalam masyarakat, baik melalui jalur bisnis komerial maupun melalui jalur sosial. Begitu juga dengan adanya lapisan sosial dan keragaman keahlian justru harus tercipta hubungan kerjasama dan saling bantu membantu antara satu pihak dengan pihak yang lain, bukannya saling menindas dan mengekploitasi. Oleh karena itu Allah swt dengan tegas melarang praktik tidak sehat dalam pengambil alihan harta orang lain, sebagaimana firman-Nya:Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.(QS Al-Baqarah: 188)

Al-Qurtubi menyatakan bahwa ayat tersebut turun dalam rangka “mengomentari” kasus antara Abdan bin al-Asywa al-Hadrami yang digugat kepemilikan tanahnya oleh seseorang dari keturunan al-Qois al-Kindiy sampai proses peradilan. Namun gugatan tersebut dicabut setelah turunnya ayat ini. Berkenaan dengan kejadian ini Rasuulullah saw bersabda:“Sesungguhnya kalian berperkara di hadapanku. Bisa jadi sebagian di antara kalian lebih baik alasannya dibanding dengan yang lainnya, maka aku memutuskannya berdasarkan apa yang aku dengar. Siapa saja yang aku tetapkan baginya (yang ternyata) hak saudaranya, maka janganlah diambil, sesungguhnya hal itu tidak lain adalah potongan api neraka”.

Dalam hal transaksi perekonomian, maka semua itu tidak akan berjalan tanpa kesepakatan akan adanya aturan atau nilai yang diakui kebenarannya, karena menyangkut kepentingan dan hak orang banyak. Oleh karena itu, Alquran tidak hanya membatasi kepada orang mukmin tetapi manusia secara keseluruhan, yakni hendaknya jangan terjadi pengambilan hak orang lain dengan cara yang tidak benar. Pengambilan, pengalihan atau pertukaran hak dari seseorang kepada orang lain hendaknya dilakukan dengan cara halal, rela sama rela, tak ada yang rugi dan dirugikan. (QS Al-Nisa: 29)

Inilah yang menjadi prinsip utama dalam semua transaksi perekonomian baik perdagangan (tijarah, buyu), pinjam meminjam (al-ariyah), sewa menyewa, perburuhan atau pengupahan (al-ijarah). Sedang dalam perkongsian atau usaha bersama baik dengan penyertaan modal atau pengelolaan yang berbentuk syirkah, mudlarabah, muzara’ah, dan musaqah, ditekankan adanya sistem bagi hasil (los and propit sharing) di mana ada keuntungan dibagi bersama, dan jika terjadi kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan porsi masing-masing.

Solusi Alquran dalam Norma Ekonomi
Prinsip keadilan merupakan salah satu prinsip yang diperjuangkan Alquran dalam semua sendi kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam masalah ekonomi. Dalam menegaskan prinsip-prinsip ekonomi yang berlandaskan Alquran, Syed Nawab Naqvi menawarkan empat aksioma, yaitu:

Pertama, kesatuan. Kesatuan di sini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim yang baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, menjadi suatu homogeneous whole atau keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dalam konsep tauhid seluruh perbuatan manusia akan terfokus pada Tuhan, yang dalam bahasa Yusuf Qardhawi disebut dengan titik tolak yang bernilai Rabbani. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi ilahiyah karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah, dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Seluruh kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi, penukaran, dan distribusi diikatkan pada prinsip ilahiyah dan tujuan Ilahi.

Kedua, kesetimbangan (Keadilan). Kesetimbangan (equiblirium) atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan harmoni pada alama semesta. Tatanan ini pula yang dikenal dengan sunnatullah. Sifat kesetimbangan atau keadilan bukan hanya sekedar karakteristik alami, melainkan merupakan karakteristik dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya.

Perilaku kesetimbangan dan keadilan dalam proses ekonomi secara tegas dijelaskan dalam konteks proses bisnis yang sederhana agar setiap pengusaha menyempurnakan takaran bila menakar dan menimbang dengan neraca yang benar, karena hal itu merupakan perilaku yang terbaik dan membawa akibat yang terbaik pula.(QS Al-Isra: 35, al-Muthaffifin: 1-3)

Ketiga, kehendak bebas. Kehendak bebas merupakan kontribusi Islam yang paling orisinal dalam filsafat sosial tentang konsep manusia “bebas”. Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, dalam perekonomian, manusia mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, termasuk untuk menepati atau mengingkarinya. Seorang muslim yang percaya pada kehendak Allah, akan memuliakan semua janji yang dibuatnya. Dalam masalah perjanjian, baik perjanjian kesetiaan kepada Allah maupun perjanjian yang dibuatnya dalam pergaulan dengan sesama, manusia harus dapat memenuhi semua janji-janji tersebut.

Keempat, pertanggungjawaban. Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Hal ini diimplementasikan paling tidak ada tiga hal, yaitu: Pertama, dalam menghitung margin, keuntungan nilai upah harus dikaitkan dengan upah minimum yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. Kedua, economic return bagi para pemberi pinjaman modal harus dihitung berdasarkan pengertian yang tegasnya bahwa besarnya tidak dapat diramalkan dengan probabilitas kesalahan nol dan tak dapat lebih dahulu ditetapkan (seperti sistem bunga). Ketiga, Islam melarang semua transaksi yang dicontohkan dengan gharrar atau sistem ijon dalam masyarakat Indonesia.

Sebagai kesimpulan dalam tulisan ini, ada baiknya kalau kita membuka kembali lembaran sejarah yang merekam tentang proses maju mundur sekaligus hancurnya suatu tatanan masyarakat yang pada awalnya mapan, menjadi sebuah masyarakat yang porak poranda diakibatkan penyimpangan sebagian besar penduduknya terhadap proses perekonomian yang berlaku pada waktu itu.

Kaum Madyan dan Aikah, merupakan dua kaum yang Allah swt mengutus Nabi Syu‘aib pada mereka. Dalam bidang ekonomi atau perdagangan, mereka bersikap curang dan tidak jujur; jika mereka menjual barang, suka mengurangi takaran dan timbangan. Jika mereka membeli barang, suka mencela, mengejek dan menjatuhkan harga, lalu membelinya dengan harga yang murah. Mereka kaum baahisatan, yaitu kaum yang suka bersikap zalim dalam perekonomian. Atas penyimpangan perekonomian yang mereka lakukan, maka Allah swt mengirimkan ganjaran yang setimpal dengan perbuatan mereka, mereka dihancurkan oleh gempa (QS Al-A’raf: 91) kekeringan dan panas yang sangat dan hujan api (QS As-Syu’ara: 189).

Dalam penilaian Nabi Syua’ib bahwa penyebab utama kemerosotan moral dan sosial penduduk Madyan dan Aikan adalah ketidakadilan dan kesombongan ekonomi. Keadilan merupakan hak-hak individu, grup dan kelas. Ini berarti bahwa nilai-nilai kebenaran dan kualitas kebajikan harus diberikan pada masing-masing orang.

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News

Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat, 5 Mei 2017