web analytics

UIN Suska Riau Gelar FGD untuk Perkuat Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

uin-suska.ac.id Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau  mengadakan Focus Group Discussion (FGD) sebagai langkah penting dalam penyusunan buku pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Inisiatif ini merupakan bagian dari program penguatan di PSGA, yang disambut baik oleh pimpinan universitas. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah menghasilkan sebuah pedoman yang komprehensif, tidak hanya berfokus pada mekanisme penanganan kasus, tetapi juga pada upaya pencegahan serta perlindungan menyeluruh bagi setiap korban yang ada.

Wakil Rektor I Prof. Dr. Raihani, M.Ed  dalam sambutannya menyoroti isu krusial terkait peningkatan kasus kekerasan seksual yang terdengar dan terlihat marak terjadi di berbagai jenjang lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi, yang menimbulkan keresahan publik. Meskipun terdapat keraguan apakah ini murni peningkatan kasus atau peningkatan laporan, fakta ini tetap memicu kekhawatiran karena lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman kini terasa kurang mampu memberikan jaminan keamanan. Hal ini diperparah dengan temuan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual seringkali ditutup-tutupi dan tidak ditindaklanjuti, yang dikhawatirkan menghambat proses pembelajaran dan justru menyebabkan kasus serupa terulang kembali.

Oleh karena itu, penyusunan buku pedoman ini diarahkan untuk dapat secara efektif meminimalisir terulangnya peristiwa-peristiwa kekerasan seksual melalui strategi pencegahan yang kuat dan penanganan yang profesional.
Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), menyampaikan bahwa pihak Satgas PPKS saat ini tengah memfinalisasi penyusunan buku pedoman . Ketua Satgas PPKS UIN Suska Riau Ibu Ikhwanisyifa, M.Psi memaparkan bahwa pedoman yang disusun hampir setahun ini bertujuan menciptakan lingkungan kampus yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan seksual, mengacu pada amanat Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021—meskipun saat ini UIN Sultan Syarif Kasim Riau sedang berproses menuju Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024. Pedoman ini secara khusus menangani kasus kekerasan seksual dalam ranah Tridharma Perguruan Tinggi, dengan tim kerja yang melibatkan dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa, serta mengintegrasikan nilai-nilai keislaman.

Buku pedoman ini mengatur mekanisme pelaporan dan penanganan yang ketat, mulai dari penerimaan laporan, identifikasi, pemeriksaan, hingga analisis kasus dan kebutuhan korban. Saat ini, bentuk penanganan yang diberikan bersifat rujukan atau rekomendasi sanksi, yang langsung disampaikan kepada Rektor. Selain mekanisme hukum, Satgas juga fokus pada layanan pendampingan dan perlindungan, termasuk layanan psikologis dan kesehatan yang didukung oleh klinik universitas. Namun, dijelaskan bahwa pendanaan untuk operasional Satgas belum diatur secara rinci dalam undang-undang, dan proses rekrutmen anggota Satgas juga masih dilakukan secara internal, mencari individu yang kompeten dalam menangani atau mendampingi korban.

Isu krusial yang masih dibahas intensif adalah penentuan jenis sanksi, baik ringan, sedang, maupun berat. Pembicara menyoroti perlunya kesepakatan bersama mengenai batasan sanksi, yang idealnya mempertimbangkan durasi, kooperatifnya pelaku, dan jumlah korban. Kasus-kasus unik, seperti dosen yang menganggap sentuhan fisik sebagai “bentuk kasih sayang” atau kasus kekerasan seksual lintas kampus, menunjukkan kompleksitas yang harus diakomodasi pedoman. Penindakan yang telah dilakukan UIN Suska Riau mencakup penundaan kenaikan jabatan hingga pemberhentian dosen, menunjukkan komitmen serius universitas untuk memberikan efek jera, sekaligus memastikan kepentingan dan kesejahteraan korban selalu menjadi prioritas utama.

Sementara itu Bapak Abdul Basid, M.Pd Kasubtim Penelitian dan HKI pada Subdirektorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Kemenag RI menyampaikan salah satu isu utama adalah struktur kelembagaan, di mana Satgas berada di bawah PSGA, yang berarti alur pelaporan dan pertanggungjawaban menjadi berjenjang. Pembicara juga mengkritisi adanya kasus di kampus lain di mana pengganti Ketua PSGA tidak memiliki basis pengetahuan gender yang kuat dan tidak melibatkan Ketua Satgas. Lebih jauh, terdapat kekhawatiran terkait penganggaran. Meskipun PSGA dan Satgas memiliki tugas yang sangat penting, anggaran yang dialokasikan masih terbatas disebutkan sekitar 100 juta jumlah yang dinilai tidak memadai untuk melaksanakan seluruh tanggung jawab, termasuk menjadi garda terdepan dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual.
Untuk mengatasi keterbatasan anggaran dan memastikan efektivitas kerja, muncul usulan agar pemanfaatan sumber daya dilakukan secara terkoordinasi. Disarankan agar fakultas mengalokasikan dana khusus untuk kegiatan monitoring pelaksanaan PPKS, yang dilakukan oleh tim Satgas di masing-masing fakultas. Selain itu, kegiatan Tri Dharma yang terkait dengan PPKS, seperti survei berkala evaluasi layanan atau survei kekerasan seksual, dapat diintegrasikan dan didanai melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M). Integrasi ini bertujuan untuk mendapatkan dukungan finansial tambahan yang sangat dibutuhkan untuk kegiatan operasional, termasuk biaya transportasi anggota Satgas untuk melakukan pemeriksaan kasus ke pihak kepolisian atau dinas terkait.

Selain masalah pendanaan, terdapat juga  pentingnya dukungan pimpinan dan perluasan cakupan layanan. Harus ada dorongan  pimpinan universitas dimana pimpinan harus memberikan dukungan penuh kepada PPKS, karena tanpa komitmen dari pimpinan, penanganan kasus terutama yang melibatkan kerabat pimpinan akan menjadi sulit. Selain itu, pentingnya memasukkan isu disabilitas secara eksplisit (seperti pembentukan PSGA-D) dan melibatkan Satgas dalam proses penganggaran dan tata kelola fasilitas juga diangkat. Hal ini termasuk memastikan ketersediaan fasilitas fisik yang aman dan inklusif bagi mahasiswa disabilitas, seperti tactile paving yang benar, guna menciptakan lingkungan yang benar-benar aman dan nyaman bagi seluruh warga kampus.
Dengan harapan dapat menghasilkan pedoman yang bermanfaat dan komprehensif, FGD penyusunan buku pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual ini secara resmi dibuka. Melalui diskusi yang mendalam dan inklusif, universitas menegaskan komitmennya untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang terbebas dari kekerasan seksual, menekan angka kasus, dan memastikan bahwa seluruh sivitas akademika terlindungi dan merasa aman dalam menjalankan aktivitas mereka.