web analytics

Puasa Ramadhan: Dari Takwa Institutif Menuju Takwa Intuitif (Sebuah Refleksi Diri di Pasca Ramadhan)

Oleh Amril M (Guru Besar UIN Sulthan Syarif Kasim Riau)

  1. Pendahuluan

Adalah sebuah kewajaran yang amat sangat bila seorang Mukmin di dalam menunaikan puasa ramadhan sehingga dengan segala ibadah pengayaan  yang mengiringinya untuk bersungguh-sungguh meraih takwa. Hal ini dikarenakan bahwa bukankah takwa yang dijanjikan oleh Allah swt bagi shoimun  dalam surah al-Baqarah ayat 183,   merupakan sifat yang amat mulia di sisi Allah swt sebagaimana dimuatnya di surah al-Hujarot ayat 13.

Sebagaimana lazimnya sebuah ibadah dalam Islam, syarat, rukun dan larangan-larangan yang terkait dengan ibadah tersebut menjadi kewajiban untuk mentaatinya demi syahnya ibadah tersebut, dan tidak jarang pula umumnya diiringi dengan  tututan mengerjakan ibadah-ibadah lain sebagai pengayaannya guna kesempurnaan ibadah tersebut. Kesemuanya ini biasanya telah ditetapkan begitu adanya dalam sebuah tatanan yang al-syariah-normatif-tekstualis,selanjutnya ini menjadi acuan baku bagi pelaksanaan ibadah tersebut dan kesempurnaannya. 

Tidak terkecuali ibadah puasa ramadhan. juga diikat oleh al-syariah-normatif-tekstualis seperti ibadah-ibadah wajib Islam yang sudah begitu adanya, diiringi pula dengan beragam ibadah-ibadah sunah lainnya sebagai pengayaan kualitas ibadah puasa ramadhan itu sendiri. Sedemikian rupa bila shoimun telah mengerjakan ini semua, maka   takwa yang akan niscaya didapatkan oleh shoimun  adalah takwa institutive untuk membedakannya dengan takwa intuitif di dalam tulisan ini..

Disebut dengan takwa institutive, dikarenakan takwa ini dihasilkan dari kesungguhan shoimun   menunaikan puasa ramadhan beserta    beragam ibadah pengayaan yang mengiringinya, bersandar pada perintah dan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam format yang telah begitu adanya. Tepatnya takwa institutif adalah takwa yang didapatkan oleh shoimun setelah bersungguh-sungguh menunaikan ibadah puasa ramadhan serta beragam ibadah pengayaannya.selama bulan ramadhan  berdasarkan al-syariah-normatif-tekstualis.

Sedangkan dimaksud dengan takwa intuitif dalam tulisan ini  adalah takwa yang ditandai dengan lahirnya kesadaran diri  setelah shoimun  melaksanakan ibadah puasa ramadhan serta  ibadah-ibadah pengayaannya berdasarkan  perintah dan laranggan yang telah dimuat  di dalam  al-syariah-historis-kontekstualis. Takwa kedua ini didapat oleh shoimun pada pasca bulan ramadhan.  Kesadaran diri seperti ini berwatak  spiritual transcendental dalam artian bahwa shoimun   menunjukkan kemampuan pemahaman dan refleksi yang amat dalam terhadap nilai-nilai yang termuat di ibadah puasa ramadhan tentang dirinya, orang lain, alam jagad raya, dan kehidupan yang terbaik serta relasinya dengan Tuhannya. (Elkins, et all, 1998).  Kemampuan ini tentunya tumbuh dan berkembang di saat atau setelah  menunaikan ibadah puasa ramadhan melalui pemanfaatan qalb yang diantaranya kemampuannya;s elalu mempertanyakan, mengabstraksi, berkontemplasi, berfikir reflektif dan selalu berzikir (mengingat-ingat Allah swt)  (Embong, 2015) Tegasnya, takwa intuitif tumbuh dan berkembang dalam kehidupan shoimun ketika yang bersangkutan selalu mencari tahu, merenungkan dan menganalisisnya secara kritis nilai-nilai yang termuat dalam kewajiban puasa ramadhan dan ibadah yang mengiringinya. Kesemua pencarian kritis seperti ini dilakukan pada ranah relasinya dengan dirinya, orang diluar dirinya, alam jagad raya dan Tuhannya demi teraktualisasinya kehidupnan  yang lebih baik. Pada tahap ini takwa intuitif bergerak di luar bulan ramadhan untuk mengimplementasikan nilai-nilai puasa ramadhan dan ibadah-ibadah pengayaannya  berdasarkan  al-syariah-historis-kontekstualis

  1. Puasa Ramadhan dari Takwa Institutif menuju Takwa Intuitif

Ditemukan ada dua kategori takwa dalam tulisan ini yakni  Takwa Institutif dan Takwa Intuitif. Kedua takwa ini saling ketergantungan dan melengkapi satu dengan lainnya. Takwa institutive yang berbasis al-syariah-normatif-tekstualis, sesungguhnya  berada pada posisi dasar atau basis bagi takwa intuitif, karena tanpa keberadaan takwa yang yang pertama, takwa yang kedua ditenggarai akan kehilangan arah bahkan menyimpang. Tanpa kekokohan takwa yang pertama ini, maka takwa kedua niscaya akan mudah goyah bahkan kehilangan makna spritualitasnya.

Begitu pula sebaliknya takwa intuitif yang berbasis al-syariah-historis-kontekstualis, mampu melahirkan kesadaran diri shoimun kemudian menjadi motivasi instrinsik bagi takwa institutive untuk keluar dari kungkungan kekakuan al-syariah-normatif-tekstualis yang tersekat oleh ruang dan waktu, yang berpotensi pula mengukung shoimun  menunaikan ibadah berpuasa ramadhan  dan ibadah pengayaan lainnya demi  tuntutan al-syari’ah-normatif-tekstualis  semata. Melalui dukungan takwa intuitif ini, takwa institutive ini nantinya mampu bertransformasi pada  kehidupan senyatanya memenuhi tuntutan al-syari’ah-historis-kontekstualis,  melalui dukungan  kesadaran diri  yang lebih tinggi sebagai hasil tempaan selama menunaikan ibadah puasa ramadhan dan segala ibadah pengayaan  yang mengiringinya.

Takwa intuitif ini sesungguhnya lahir dari kesadaran yang tinggi dalam diri shoimun  dengan  kemampuan mermati dari beragam makna spritualitas yang termuat dalam ibdah puasa ramadhan dan ibadah-ibadah  pengayaan yang mengiringinya melalui kemampuan  hati (qalb) semisal   selalu mempertanyakan, mengabstraksi, berkontemplasi, berfikir reflektif, dan selalu berzikir (mengingat-ingat Allah swt)  yang seperti disebutkan sebelumnya. Sedemikian rupa melahirkan  kedaran diri yang tinggi akan adanya sesuatu yang lebih kaya dan mulia dibalik al-syariah-normatif-tekstualis terutama terkait dengan relasi dengan Allah swt,  manusia dan lingkungan. Hal seperti ini sesungguhnya akan ditemukan dalam ibadah puasa ramadhan yang amat sarat dengan nilai-nilai yang memfasilitasi terbangunnya relasi yang akrab dengan Allah swt dan ciptaannya. Muhammad Iqbal, seorang pemikir  Islam abad 20  menyimpulkan bahwa diantara tujuan al-Qur’an diturunkan adalah untuk membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi tentang hubungan  manusia dengan Tuhan dan ciptaanNya. (Kalid Mas’ud, 2007).

Pada ranah takwa intuitif ini pula, puasa ramadhan sejatinya tidak lagi sebatas ibadah formal-ahkam syari’ah, yang hanya berada pada bulan ramadhan saja,  tetapi lebih dari itu yakni ibadah yang meniscayakan melahirkan kesadaran spiritual, baik di saat maupun setelah menunaikan ibadah puasa ramadhan dengan iringan ibadah-ibadah pengayaannya, Kesadaran spiritual puasa ramadhan ini yang niscaya tumbuh dan berkembang dalam sikap dan perilaku shoimun  yang terlihat setidaknya  ditandai dengan muncul dan berkembangnya nilai-nilai yang berkaitan dengan jiwa kebajikan orang tersebut (self), orang lain (others) alam (nature),  kehidupan (life) yang memuat kualitas kebenaran yang paling mulia didalam sikap dan perilaku senyatanya.(Elkins, et all:1988)  

Untuk mendorong  tetap berkembangnya spiritualitas ibadah-ibadah ramadhan  beserta nilai yang dikandungnya tetap hidup dan berkelanjutan baik kuantitas dan kualitasnya di luar bulan ramadhan,  perlu mempertimbangkan apa yang dikenal dalam dunia tasawuf, yakni   muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri).

Secara praktis  muraqabah (mawas diri) merupakan sebuah metoda spiritual-transendental  yang dimanfaatkan untuk memunculkan dan mengembangkan kesadaran berfikir  yang mendalam  dan merenungkan  akan  kehadiran Allah swt yang amat dekat dan selalu mengawasi setiap perbuatan manusia di dalam kehidupan ini. Metoda ini tidak hanya dapat melahirkan kesadaran yang tinggi akan adanya Allah swt tetapi juga dapat mengembangkan perilaku akhlak yang lebih baik dan maksimal dalam kehidupan.  Sementara itu muhasabah ( introspeksi diri) secara umum merupakan sebuah metoda spiritual yang dilakukan dalam bentuk mengevaluasi kerja pikir dan menganalisis perilaku diri sendiri dengan tujuan menyucikan jiwa dan merawat kehidupan perilaku keberagamaan .yang telah dimiliki, bahkan mengembangkannya  (al-Daghistani, 2016)  

Muhasabah (introspeksi diri) itu sendiri sesunguhnya merupakan irisan dari muraqabah (mawas diri) yang saling menguatkan satu bagi yang lainnya, sedemikian rupa muhasabah (introspeksi diri) ini, juga  akan menguatkan perilaku ibadah ramadhan dan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari meskipun di luar bulan ramadhan. Hal ini dikarekan bukankah muhasabah (introspeksi diri) itu sendiri memiliki karakter menelaah pikiran-pikiran dan menganalisis perilaku yang telah dilakukan dengan satu tujuan yakni merawat dan meningkatkannya sesuai dengan ketetapan agama. Tambahan lagi sesungguhnya muhasabah (introspeksi diri) itu menurut al-Muhasibi (d. 857) sangat diperlukan untuk mengembalikan ke maksud awal dan watak yang sesungguhnya dari sebuah perbuatan itu (al-Daghistani, 2016).

Dorongan kuat dari muraqabah (mawas diri) ini misalnya dapat ditangkap dari kemampuan kerja metoda ini yang menempatkan kesadaran akan keberadaan Allah swt selalu mengawasi setiap perilakunya menjadi dasar sebuah perilaku ibadah itu ditunaikan oleh pelakunya. Dalam konteks ini dipahami bahwa sesungguhnya menjadi bagian terdalam dari sebuah perilaku ibadah yang ditunaikannya, sedemikia rupa kehadiran Allah swt seperti ini justru menjadi energi dan motivasi yang tiada tandingannya untuk selalu menunaikan ibadah-ibadah yang telah dimilikinya, bahkan memungkinkan pula mngembangkannya menjadi lebih baik dan bermakna dalam kehidupan pelaku ibadah tersebut. Dapat dipahami pula bahwa kebenaran yang koherensif ditemukan pada  muraqabah (mawas diri) karena kemampuannya dapat mendorong perilaku dan sikap  ibadah melebihi dari perilaku dan sikap ibadah sebelumnya.

Begitu pula metoda muhasabah (introspeksi diri), dinilai mampu mendorong dan mengembangkan perilaku ibadah yang berbasis pada kesadaran diri. Kemampuannya seperti ini, setidaknya terlihat dari karakteristik kerja metoda ini yang terus menerus melakukan evaluasi terhadap perilaku ibadah  untuk  selalu tetap selalu pada posisinya semula,  jika terjadi degradasi muraqabah (mawas diri) akan mengingatkan maksud semula dan watak  sesungguhnya dari sebuah perilaku ibadah itu ditunaikan. Karakteristik mengontrol, mengembalikan pada posisi semula serta mengingatkan pelaku ibadah yang dimiliki oleh metoda ini, meniscayakan sebuah perilaku ibadah akan berkelanjutan dilaksakan oleh yang bersangkutan tanpa ada pengurangan baik secara kuantitas maupun kualitas

Dengan memanfaatkan metoda muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri) seperti dipaparkan di atas, secara niscaya para shoimun  dapat dorongan yang amat kuat dari dalam dirinya untuk  meneruskan sikap dan perilaku ibadah ramadhan dan ibadah lain yang mengiringinya, berawal  dari ketaataan kesholihan   al-syariah-normatif-tektualis ke ketaatan dan kesholihan al-syariah-historis-kontekstualis. Sebuah kesolihan  yang meniscayakan lahirnya perilaku ibadah-ibadah ramadhan serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan terus hidup subur didalam  kepribadian shoimun  di pasca ramdhan.

Tegasnya dapat dikatakan bahwa  muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri) sebagai metoda spritualitas  memiliki peranan yang amat strategis bagi keberlangsungan sebuah perilaku ibadah tetap pada posisinya semula, bahkan dapat pula meningkatkannya baik kualitas maupun kuantitas perilaku ibadah tersebut dalam perjalanannya ke depan yang tidak tergerus oleh perubahan lingkungan yang mengitarinya. Disini lah arti pentinya peranan muraqabah (mawas diri) dan muhasabah (introspeksi diri)  sebagai dua metoda spritualitas  guna melestarikan perilaku ibadah-ibadah ramadhan  yang telah dimiliki oleh shoimun tetap berkelanjutan di bulan-bulan pasca ramadhan. Dalam konteks pemahaman seperti ini pula dapat dipahami bahwa perilaku  ibadah-ibadah ramadhan akan menjadi lebih produktif dan prospektif  ketika beranjak dari perilaku ibadah yang berbasis kecerdasan dan ketaatan kesholihan al-syariah-normatif-tekstualis ke kecerdasan dan ketaatan kesholihan al-syariah-historis- kontekstualis.

Takwa intuitif ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan psikologis spiritualitas dan kemampuan teologis spiritualitas yang telah Allah swt anugerahkan kepada setiap manusia yang beriman. Melalui dua kemampuan ini,  puasa ramadhan yang ditunaikan oleh shoimun  tidak lagi berhenti pada takwa institutive yang berkarakter yang sangat terbatas, terhenti pada keshalehan al-syariah-normatif-tekstualis, akan tetapi mampu meraih takwa intuitif yang berkarakter tidak terikat ruang dan waktu bualan puasa ramadhan,  sedemikian rupa nilai puasa ramadhan dan ibadah pengayaan yang mengiringinya terus hidup  dan terimplementasikan pada ruang dan waktu pasca ramadhan yang dituntun oleh al-syariah-normatif-kontekstualis. Terus menerus mengupayakan takwa intuitif setelah diraihnya takwa institutive oleh shoimun, merupakan diantara indikasi bahwa nilai-nilai ibadah puasa ramadhan dan beragam ibadah yang mengiringinya hidup  dalam  kehidupan shoimun   di masa pasca ramadhan. Sebuah perestasi takwa sejatinya yang niscaya melahirkan pribadi muttaqiin. Semoga…  Wallahu’alam bi shawabi       

Pekanbaru, 15 April 2024