web analytics

Menyoal Penyiaran Bencana

Setiap terjadi bencana, terutama yang bersakala besar, seperti banjir, gempa bumi, tsunami atau kabut asap, pastilah selalu mendapat porsi untuk ditayangkan di televisi baik itu melalui berita, atau dialog-dialog, serta laporan dari lokasi terjadinya bencana. Televisi adalah  salah satu media penyiaran yang menjangkau hampir seluruh  rumah tangga di Indonesia termasuk Provinsi Riau. Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.

 

Dari televisi dengan berbagai varian bentuk dan kualitas, baik suara maupun gambarnya itu, kita belajar, kita bisa mengetahui apa kejadian yang sedang terjadi di sekeliling kita atau di tempat lain, kita mendapat suguhan hiburan, serta berbagai siaran lainnya yang seolah tiada berhenti menghiasi layar kaca. Walaupun kini bertebaran media sosial atau layanan internet, tapi tetap saja televisi lebih mudah digunakan, karena tidak mesti pandai cukup duduk atau melihat saja ke arah layar kita sudah tahu dengan apa yang sedang terjadi. Televisi harus diakui sebagai media yang sangat dekat terutama dengan warga pedesaan yang belum semuanya modern dalam hal teknologi.

 

Bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Tatkala bencana datang, televisi selalu berlomba membuat tayangan untuk melaporkan kejadian di lapangan, atau dialog dengan berbagai tokoh mengenai peristiwa yang sedang terjadi. Bencana asap yang kini menghampri Provinsi Riau misalnya menjadi salah satu liputan televisi baik nasional maupun lokal. Sasaran dari siaran ini disamping memberikan informasi terkini bagi pemirsanya, kadang juga tersisip niat untuk melakukan penanggulangan bencana, sembari berharap hal yang sama tidak terulang lagi di masa depan. Di samping itu siara mengenai bencana kadang juga bisa mempertemukan keluarga yang terpisah, memberi informasi kemana warga korban bencana akan diungsikan serta apa saja yang sudah dilakukan pemerintah.

 

Meski demikian, tidak jarang juga penyiaran bencana terkesan membingungkan para pemirsa televisi, hal ini terjadi karena kesalahan komunikasi yang dilakukan oleh insan televisi dalam hal melakukan peliputan bencana karena ketidakcakapan reporter dalam melaporkan, atau karena tidak sensitif terhadap korban bencana. Sehingga alih-alih berhasil dalam misinya, tak jarang justeru televisi “gagal” menjalankan tujuan komunikasinya yakni mempengaruhi penonton untuk bertindak.

 

Seorang ahli Filsafat Bahasa Biasa, Jhon Langshaw Austin (1911-1960) dalam buku Menuju Jurnalisme Beretika karya Dr Wahyu Wibowo (2009) mengatakan, tindak tutur adalah tindakan bahasa yang berperan ketika seseorang mengungkapkan suatu ungkapan bahasa. Pada prinsipnya, tindak tutur menggarisbawahi bahwa perkataan dan tindakan adalah sama, dan oleh karena itu penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret dan dari fenomena-fenomena yang bertalian dengan  penggunaan bahasa tersebut. Dengan  kata lain tindak tutur tidak hanya  mengungkapkan gaya bahasa si  penutur, tetapi juga merefleksikan  tanggung jawab si penutur terhadap  isi tuturannya, dan sekaligus mengandung maksud tertentu dalam memengaruhi mitra tuturnya. Saat presiden, menteri, kepala daerah, atau penegak hukum mengungkapkan usaha yang sudah mereka lakukan untuk melawan pembakaran lahan dan hutan, pada sisi lain media juga memberitakan diterbitkannya SP3 untuk perusahaan yang diduga terlibat pembakaran lahan, atau bagaimana seorang hakim di Sumatera yang menyebut bahwa membakar lahan bukanlah sebuah tindak kejahatan. Pada sisi ini bagaimana mungkin rakyat akan percaya atau bahkan mengikuti  intruksi pemimpinnya jika simbol-simbol  kepemimpinan melalui organ-organ negara ternyata berbuat sebaliknya.

 

Belajar dari Jepang

 

Di Jepang profesionalitas yang dituangkan dalam bentuk sensitif terhadap bencana alam sangat nyata terjadi. Dalam buku Japan After Shock (2012) ketika bencana gempa bumi yang disusul tsunami melanda negara itu di tahun 2011, etika pemberitaan saat bencana adalah hal yang vital untuk membangun kembali spirit masyarakat. Liputan televisi setempat tidak mengumbar gambar tentang korban meninggal dunia yang bergelimpangan sebagai bukti media penyiaran berempati terhadap bencana yang terjadi. Yang terlihat di layar tv hanyalah gedung-gedung ambruk, rumah penduduk yang tersapu tsunami, mobil jungkir balik, kapal pecah berantakan, jalan-jalan terbelah, kebakaran dan berbagai kerusakan lainnya. Tidak ada lagu yang mendayu-dayu sebagai pengiring gambar-gambar pilu itu yang justru memicu kesedihan berlarut-larut.

 

Pemberitaan media massa sarat informasi seperti keadaan korban selamat di pengungsian, peringatan pemerintah akan gempa susulan, serta imbauan menghemat listrik. Banyak pula informasi soal geografis Jepang yang diterangkan oleh pakar gempa bumi dan tsunami secara gamblang dan jelas. Berita juga memuat akses telepon ke pusat bencana yang bisa dihubungi 24 jam non stop.

 

Pemerintah Jepang juga langsung memonopoli iklan baik tv maupun radio terutama pada hari-hari pascabencana. Iklan ini menumbuhkan semangat untuk pemirsa yang melihatnya, “(Kokoro) wa dare ni mo mienai keredo, (kokoro) tsukai wa mieru.” Artinya lebih kurang di dalam hati tak seorang pun bisa melihat, tetapi tindakan berdasarkan hati dan tenggang rasa akan terlihat.

 

Tayangan di tv dan radio mengenai bencana alam ini memuat kisah tentang pengungsi, sehingga pemirsa bisa tahu kebutuhan pengungsi, tak sekalipun ditayangkan kondisi jenazah korban gempa dan tsunami. Bahkan saat korban gempa diungsikan ke daerah Tokyo, Saitama, Yokohama, Chiba, Ibaraki biasanya wajah pengungsi disamarkan.

 

Jika pengungsi menyampaikan pesan, keinginan, dan harapan mereka menyampaikannya dengan tidak menangis walaupun pemirsa pasti memahami kondisinya memang sedang bersedih jika dia akhirnya menangis. Banyak radio dan tv yang suka memutar lagu-lagu pembangkit semangat seperti, Makenaide yang artinya jangan menyerah kalah. Lagu pembangkit semangat bagi korban bencana inilah yang terus menerus diputar sehingga membangkitkan semangat korban bencana untuk bangkit kembali dan menjadi pelecut pemirsa yang berempati untuk kemudian menggalang bantuan bagi korban bencana.

 

Apa yang dilakukan Jepang tentu tidak semuanya bisa kita adopsi seratus persen, namun setidaknya berkaca dari kebiasaan Jepang yang selalu bangkit dari berbagai hantaman bencana sejatinya kita juga memulai langkah baru untuk selalu berbuat yang terbaik bagi rakyat daerah ini yang masih sangat rawan dalam menghadapi bencana yang sedang atau akan terjadi.

 

Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari bangsa Jepang dan tentu menjadi ide besar dalam upaya untuk merekonstruksi kesiapan kita dalam menghadapi bencana. Pertama, media massa terutama televisi sebagai media penyiaran seharusnya tidak hanya bersifat informatif semata dalam hal mengabarkan bencana yang terjadi di Riau terutama bencana asap. Jika mengacu kepada peraturan, tujuan penyiaran menurut pasal 4 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyebutkan bahwa penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Sejatinya televisi harus memulai menerapkan fungsi pendidikan bencana dalam setiap informasi yang diberitakannya. Tidak hanya bertutur soal bencana asap semata, tetapi bagaimana mencegah, bagaimana bersikap, bagaimana menyelamatkan diri atau mengatasi bencana asap agar tidak terserang berbagai penyakit yang bisa ditimbulkan akibat asap. Dengan demikian media memiliki peran edukasi terhadap bencana yang sedang terjadi, tidak hanya sebagai media yang tugasnya memberikan informasi semata.

 

Kedua, dalam kondisi bencana media terutama penyiaran sebaiknya membangun kepercayaan publik kepada pemerintah, karena bagaimanapun pastilah pemerintah beserta aparatnya bertindak untuk memulihkan keadaan. Media sebaiknya tidak mengumbar berita-berita tentang hal yang berbau politis, pencitraan, atau berita pejabat yang pelesiran ke luar negeri yang dapat mengundang emosi para korban atau orang yang mendengar atau melihat tayangan berita tersebut. Di sini media penyiaran harus berfungsi sebagai perekat sosial bukan malah sebaliknya menjadikan masyarakat terpecah belah oleh berbagai isu yang tidak perlu, karena yang terpenting ketika terjadi bencana adalah penanganan para korban, dan bersiap untuk kemungkinan terburuk yakni bencana susulan. Media penyiaran harus mengenyampingkan kepentingan politik yang mungkin berseberangan dengan pemerintah. Kalaupun hal itu dirasa perlu, sebaiknya diungkap setelah bencana usai, sehingga tidak menggangu konsentrasi dalam penanganan bencana yang sedang terjadi.

 

Ketiga, media penyiaran sebaiknya juga sensitif terhadap bencana yang sedang terjadi, tidak hanya dengan intensitas pemberitaan bencana tetapi juga tidak menayangkan siaran-siaran hiburan yang bersifat seolah-olah mengejek korban bencana. Tayangan hiburan musik yang berjoget atau berjingkrak di tv, kadang bisa ditafsirkan sebagai bentuk ketidakpedulian atau bahkan bergembira di atas penderitaan orang lain walaupun acara tersebut tidak ada kaitannya dengan kejadian bencana. Jika berkaca kepada apa yang dilakukan Jepang, acara radio dan tv selama seminggu masih berkutat seputar pemberitaan masalah bencana begitu juga iklan yang banyak diborong oleh pemerintah untuk menayangkan iklan layanan masyarakat mengenai apa yang sebaiknya dilakukan dan bagaimana melakukan hal-hal penting terkait bencana. Seminggu setelah bencana barulah berangsur-angsur menayangkan siaran hiburan, itupun kebanyakan penggalangan dana untuk korban bencana.

 

Keempat, pemerintah dan aparat terkait dalam menyikapi bencana di media penyiaran sebaiknya menyebarkan pesan yang jelas dan mudah dipahami serta menghindari menyalahkan pihak-pihak lain atas bencana yang terjadi. Kesalahan yang sering terjadi selama ini adalah gencarnya para elit pemimpin kita perang opini dengan laku saling mencari kambing hitam di media penyiaran sehingga yang tampak bukan keinginan untuk memperbaiki keadaan tetapi siapa yang paling unggul dalam perang opini. Hal seperti itu sebenarnya tidak haram terjadi namun alangkah baiknya hal itu dihindari dulu ketika bencana terjadi lebih baik fokus pada penanggulangan dan pemulihan pascabencana daripada berderbat hal-hal yang tidak perlu.

 

Kelima, perlu perbaikan sumber daya manusia penyiaran yang akan diturunkan dalam liputan bencana. Perbaikan sumber daya manusia ini tidak saja terkait pengetahuan akan apa bencana yang terjadi, tetapi juga bagaimana cara melakukan liputan lapangan, kemampuan wawancara yang tidak menyinggung perasaan korban bencana, serta jika perlu ikut terlibat dalam penanggulangan bencana, sehingga mereka tidak hanya hadir sebagai penonton para korban tetapi juga bisa terlibat dalam membantu para korban. Ahmad Arif penulis buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010) memberikan ilustrasi, menurutnya mereka yang jadi korban bencana atau mereka yang menjadi pengungsi kadang merasa gerah dengan banyak pihak datang untuk bertanya, tetapi hidup mereka yang tinggal di tenda pengungsian tak berubah juga.

 

Keenam, perlu diberikan sanksi kepada lembaga penyiaran yang menjadikan bencana sebagai bahan candaan atau lawakan dalam siarannya. Hal ini disamping tidak sesuai dengan budaya ketimuran yang santun dan beradab, juga melukai para korban dan keluarganya yang mungkin tidak bermukim di tempat terjadi bencana.

 

Ketujuh, perlu dipantau penayangan gambar yang berulang-ulang yang dapat mengaburkan fakta sehingga dianggap sebagai kejadian baru oleh para penonton. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 25 poin e Pedoman Prilaku Penyiaran tentang Peliputan Bencana bahwa Lembaga penyiaran dalam peliputan dan/atau menyiarkan program  tidak menggunakan gambar dan/atau suara korban bencana  dan/atau orang yang sedang dalam kondisi menderita dalam filler, bumper, ramp yang disiarkan berulang-ulang.

 

Kedelapan, lembaga penyiaran publik dan swasta perlu memperbanyak iklan layanan masyarakat bekerjasama dengan pemerintah yang materinya adalah petunjuk penanggulangan bencana, dan memberikan semangat kepada para pengungsi bahwa hidup belum berakhir, dan mari meraih masa depan yang lebih baik. Siara iklan ini hendaknya juga memberi jalan kemana pengaduan atau call center yang bisa dihubungi untuk penanganan para pengungsi dan informasi penting lainnya. Di samping itu perlu juga kiranya diputarkan lagu-lagu patriotik yang membangkitkan gairah dan semangat pengungsi sebagai bagian dari penanganan pascabencana dalam tayangan di televisi. Lembaga atau media penyiaran hendaknya memperhatikan tujuan sentral komunikasi sebagaimana yang disarikan oleh Wayne Pace, Brent D Peterson, dan M.Dallas Burnet dalam bukunya Technique for Effective Comunication bahwa tujuan utama komunikasi adalah memastikan bahwa komunikan mengerti pesan yang diterima, jika menerima maka penerimaan itu harus dibina, dan pada akhirnya dimotivasikan untuk bertindak.

 

Kesembilan, KPI sebagai regulator body atau lembaga yang terwujud dari kepedulian masyarakat termasuk pemerintah, patut kiranya memberi apresiasi kepada lembaga penyiaran yang melakukan penyiaran bencana dengan prinsip jurnalistik yang tepat, dan mentaati etika penyiaran sebagai tertuang dalam pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran. Meski hal tersebut tak patut menjadi motivasi, tetapi setidaknya award yang diberikan akan menunjukkan bahwa ada pihak yang peduli kepada mereka yang taat azas dan menyiarkan bencana sesuai dengan prinsip penyiaran yang baik.

Mustafa, S.Sos., M.I.Kom.

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau