web analytics

Menata Wajah Penyiaran Indonesia

Pasca reformasi dilahirkan dari rahim pergerakan mahasiswa tahun 2008 silam,  perubahan mendasar banyak terjadi di Indonesia. Agenda reformasi tersebut membawa angin segar dalam banyak hal dengan konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai perubahan dalam segala hal dalam menata wajah Indonesia yang diharapkan nihil dari praktek koruptif dan tindakan lainnya yang mencederai nilai-nilai demokrasi. Meskipun masih terdapat kekurangan disana-sini, tentunya dalam semangat untuk memperbaiki yang kurang dan mempertahankan yang baik.

Snow ball effect juga menjalar dalam ranah penyiaran, reformasi penyiaran pun bergulir dengan lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang penyiaran yang merubah wajah penyiaran nasional dan lokal.

Dalam kontek “penyiaran mencari bentuk” tentunya tidak dinafikan bahwa reformasi penyiaran tahun 2002 sampai saat ini belum mampu melahirkan sistem penyiaran yang demokratis, mendidik dan sesuai dengan kehendak dan harapan masyarakat. Untuk itu, masyarakat penyiaran menyambut gembira atensi para politisi yang memasukan Undang-Undang Penyiaran ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015 sebagai bagian dari Undang-Undang yang akan direvisi tahun ini. Niat baik politisi Senayan ini tentunya mendukung dan sejalan dengan Nawacita Penguasa hari ini.

Potret Media di Indonesia

Merujuk kepada hasil penelitiang Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), dalam laporannya yang berjudul “Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia” mengatakan Saat ini, dua belas kelompok media besar mengendalikan hampir semua kanal media di Indonesia, termasuk di dalamnya penyiaran, media cetak dan media online. Mereka adalah MNC Group, Kelompok Kompas Gramedia, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Grup Jawa Pos, Mahaka Media, CT Group, BeritaSatu Media Holdings, Grup Media, MRA Media, Femina Group dan Tempo Inti Media. Grup MNC memiliki tiga kanal televisi free-to-air – jumlah terbanyak yang dimiliki oleh grup media – juga 20 jaringan televisi lokal dan 22 jaringan radio di bawah anak perusahaan mereka, Sindo Radio. Grup Jawa Pos memiliki 171 perusahaan media cetak, termasuk di dalamnya Radar Grup. KOMPAS, surat kabar paling berpengaruh di Indonesia, telah mengekspansi jaringannya dengan mendirikan penyedia konten yaitu KompasTV, di samping 12 penyiaran radio di bawah anak perusahaan mereka Radio Sonora, dan 89 perusahaan media cetak lainnya. Visi Media Asia telah berkembang menjadi kelompok media yang kuat dengan dua saluran televisi teresterial (ANTV dan tvOne) serta media online yang berkembang dengan pesat vivanews.com. Sebuah perusahaan media di bawah Grup Lippo yakni Berita Satu Media Holding, telah mendirikan Internet Protocol Television (IPTV) BeritaSatuTV, kanal media online beritasatu.com dan juga memiliki sejumlah surat kabar dan majalah.

Itu semua bermula dari peristiwa tahun 2011, dimana pada tahun itu terjadi sejumlah merger dan akuisisi antar kelompok media di Indonesia. Indosiar Visual Mandiri (Indosiar) dibeli oleh Elang Mahkota Teknologi, perusahaan induk dari Surya Citra Televisi (SCTV). CT Group, perusahaan induk dari Trans TV dan Trans 7, membeli detik.com—salah satu perusahaan media online terbesar di Indonesia. Selain itu, beberapa kelompok media kecil seperti beritasatu.com dibeli oleh Lippo Group. Tentunya, praktik-praktik ini tidak berakhir di sini. Sejumlah akuisisi dan merger akan terus terjadi di masa mendatang, mengingat pertumbuhan industri media di Indonesia. Terlebih lagi, industri media di Indonesia sudah mengarah ke industri yang oligopolistik dan hegemonik. Bersamaan dengan pertumbuhan industri media yang sangat cepat, konsentrasi kepemilikan media tidak bisa dihindari, dan menjadi nyata terlihat dalam penelitian ini. Konglomerasi menjadi ciri perkembangan industri media di Indonesia, membuat khalayak menjadi hanya sekadar konsumen, bukan warga negara yang memiliki sejumlah hak terhadap media. Ada implikasi ganda dari pola perkembangan industri media saat ini:pertama, pola perkembangan industri media dewasa ini telah membahayakan peran publik di dalam bermedia; kedua, pola ini membuat peran warga negara seolah tidak berarti dalam dalam proses pembentukan cara kerja media.

Di tengah pusaran kepentingan

Pemusatan di industri media terjadi sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan dari kepentingan modal yang mendorong perkembangan industri media di Indonesia. Oligopoli media yang terjadi saat ini membahayakan hak warga negara atas informasi karena industri media sudah berorientasi keuntungan dan perusahaan-perusahaan media telah mewakili gambaran bisnis yang menguntungkan yang dapat dibentuk oleh kepentingan pemilik dan dengan demikian, bisnis media menjadi sangat memberi manfaat bagi mereka yang mencari kekuasaan. Hal ini terutama menjadi kasus pada sejumlah pemilik media yang juga terafiliasi dengan dunia politik. Aburizal Bakrie, yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang juga pemilik Viva Group dan Surya Paloh, pendiri partai politik NasDem yang juga pemilik Media Group, adalah dua contoh nyata atas tren ini. Ada persepsi umum yang semakin berkembang bahwa kepentingan pemilik-pemilik media ini telah membahayakan hak warga negara terhadap media, karena mereka menggunakan media sebagai alat kampanye politik untuk mempengaruhi opini publik. Pendek kata, media telah menjadi sebuah mekanisme di mana para pebisnis dan politisi menyampaikan kepentingan mereka dan pada saat yang sama juga mengambil profit dari bisnisnya.

Regulasi

Masih dalam penelitian yang sama, CIPG juga mengutarakan bahwa dalam banyak kasus, pemerintah sebagai regulator mengalami kesulitan dalam menyelaraskan peraturan-peraturan dengan lingkungan industri media yang berubah dengan cepat. Pemerintah yang tidak tanggap telah membuat industri bergerak dengan leluasa tanpa peraturan-peraturan yang tegas. Kurang tegasnya kerangka kerja peraturan ini terlihat jelas pada UU Penyiaran no 32/2002, yang terus-menerus dikritik oleh berbagai organisasi masyarakat sipil, aktivis media, dan juga oleh industri media itu sendiri. Masing-masing pihak memiliki interpretasi yang berbeda terhadap UU yang tampak multi-tafsir tersebut: di satu sisi UU ini mempromosikan demokratisasi dan keberagaman melalui media, tetapi di sisi lain UU ini tidak menjelaskan pelaksanaan konkretnya secara rinci. Peraturan yang tidak jelas ini memberikan kebebasan untuk media, yang kemudian dapat membiarkan bisnis menggunakan barang publik tanpa kendali yang tegas dari pemerintah. Peraturan media lainnya seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik juga telah mengancam hak warga negara untuk berpartisipasi dalam media dan telah menyingkirkan warga negara dari peran mereka sebagai pengendali media.

Politisasi Frekwensi

Kalau kita cermati, masih banyak terdapat aneka penyalahgunaan frekuensi. Salah satu yang masih segar dalam ingatan adalah pemanfaatan frekuensi publik untuk kepentingan partai politik, kelompok, dan individu tertentu. Menjelang dan pada periode kampanye Pemilu 2014, misalnya, riset Dari Konstituen ke Konsumen: Strategi Komunikasi Partai Politik di Layar Kaca (CIPG, 2014) menunjukkan bahwa partai politik yang berafiliasi dengan televisi tertentu cenderung secara masif memasang iklan di kelompok media tertentu: Golkar di TV One dan ANTV, Nasdem di Metro TV, dan Hanura di MNC TV. Dalam Pilpres pun, tampak jelas kecenderungan beberapa kelompok media untuk mendukung salah satu kandidat lantaran faktor kedekatan kandidat dengan pemilik media tersebut. Konsentrasi kepemilikan media juga menambah pelik penyalahgunaan frekuensi ini (CIPG, 2012).

Alasan Mendesak untuk direvisi

Undang-Undang sebagai produk politik sudah tentu tidak luput dari berbagai kekurangan dan kegagalan. Alasan mendasar untuk mendesak revisi Undang-Undang Penyiaran harus dilakukan dalam waktu dekat  ini, misalnya, tidak berjalannya rencana stasiun berjaringan, konsentrasi ownership media penyiaran swasta, tata kelola lembaga penyiaran publik, instrumentalisasi penyiaran swasta sebagai alat politik, serta pengingkaran frekuensi sebagai benda publik. Kalau kita berkaca kebelakang, kegagalan ini sudah dibacah oleh politisi terdahulu yang bermukim di Senayan. Tercatat, DPR Periode 2009-2014 sudah berkeinginan untuk merevisi Undang-Undang Penyiaran tersebut, namun terhalang karena Daftar Isian Masalah versi pemerintah yang berkuasa waktu itu  jumlahnya ratusan, sehingga revisi dimaksud tidak terwujud.

 

Menata wajah Penyiaran

Industri media di Indonesia tumbuh pesat pasca-Reformasi 1998. Televisi kini merupakan media dengan penetrasi tertinggi di Indonesia. Setidaknya 91,55% warga Indonesia berumur di atas 10 tahun menonton TV, sementara radio dan media cetak dikonsumsi oleh 18,6% dan 17,7% warga Indonesia (BPS, 2012). Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selaku pengawas media penyiaran punya peran vital menata penyiaran di Indonesia dalam semangat demokrasi.

Berlangsungnya revisi UU No. 32/2002 tentang Penyiaran sekaligus adanya evaluasi untuk perpanjangan IPP bagi 10 stasiun TV swasta yang akan habis masa ijin siar pada 2016 ini merupakan momentum perbaikan tata kelola penyiaran di Indonesia.

Menurut R Kristiawan, Manajer Program Yayasan Tifa Jakarta dan Anggota Tim Lobi Masyarakat Sipil untuk  Prolegnas Penyiaran 2015 menyebutkan,  ada empat yang menjadi isu pokok sehingga mendesak Undang-Undang Penyiaran untuk direvisi.

Pertama, Berkenaan dengan masalah lembaga penyiaran publik. Prolegnas ini akan memisahkan regulasi penyiaran dan regulasi penyiaran publik yang didalammnya diatur tentang TVRI dan RRI.  Pemisahan ini tentunya disambut baik oleh masyarakat penyiaran karna dinilai sudah tepat, dengan penyatuan dalam satu regulasi seperti sekarang, lembaga penyiaran publik belum mampu menjadi lembaga penyiaran publik yang independen, universal, dan melayani fungsi kewarganegaraan. TVRI masih dihantui oleh tata kelola yang tidak akuntabel serta cenderung melayani kepentingan tertentu. Pengaturan lembaga penyiaran publik dalam UU khusus diharapkan mampu mengatur lembaga penyiaran publik sampai pada level manajerial yang tidak diatur dalam UU Penyiaran sekarang.

Kedua, adalah masalah  sistem siaran berjaringan dan Ownership Media. Tata kelola media swasta belum mampu menyelenggarakan amanah Undang-Undang Penyiaran yang disebut dengan sistem siaran berjaringan (SSJ). Sehingga media tidak mampu beroperasi dalam konteks keindonesiaan yang berwilayah luas dengan keragaman yang sangat tinggi. Konteks itu sebenarnya sudah diantisipasi UU Penyiaran lewat mandat sistem siaran berjaringan (SSJ). SSJ mewajibkan stasiun swasta yang akan memperluas wilayah siarannya bekerja sama dengan stasiun siaran di provinsi lain. SSJ ini bertujuan untuk mengakomodir kebhinekaan, budaya, adat istiadat dan kearifan local dan mendorong desentralisasi ekonomi sehingg media local juga mencicipi kue iklan yang nilainnya sangat fantastis itu. Inilah penyebabnya, amanah ini gagal diimplementasikan. Lembaga Penyiaran Swasta hadir sebagai entitas yang oligarkis dengan struktur kepemilikan yang terpusat dan bias Jakarta. Struktur kepemilikan ini beririsan kuat dengan politik yang memuncak pada Pilpres 2014, di mana televisi swasta bertingkah sebagai instrumen politik, bahkan sampai keluar lelucon di tengah masyarakat “kalau maulihat Prabowo-Hatta Menang lihat di TVOne, Kalau mau lihat Jokowi-JK Menang lihat di MetroTV”. Tentunya ini akan menjadi tantangan terbesar dalam Prolegnas kali ini karena menyangkut risiko divestasi bagi industri penyiaran.

Ketiga, Masalah digitalisasi. Digitalisasi penyiaran terestrial belum diakomodir dalam UU Penyiaran No 32/2002. Lucunya, Menteri Komunikasi dan Informatika waktu itu, Tifatul Sembiring mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) No 22/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free to air). Permen ini akhirnya dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada Oktober 2013. Digitalisasi adalah perkembangan teknologi yang mampu meningkatkan kualitas audiovisual televisi serta mampu meningkatkan jumlah kanal dan frekuensi. Digitalisasi tetap bisa mendukung SSJ dengan tetap memegang prinsip keragaman kepemilikan lewat keadilan dalam pemberian izin kepada pengelola multipleks.

Keempat, Mewujudkan regulator independen. Salah satu kegagalan penting reformasi penyiaran tahun 2002 adalah pelemahan KPI sebagai regulator independen melalui judicial review tahun 2005 dan PP 50/2005. Saat ini sedang ada wacana mereformulasi organisasi regulator independen dengan salah satu pilihan organisasi terpusat, seperti Federal Communication Commmission. Apa pun bentuk yang dipilih, prinsip yang harus dikedepankan adalah eksistensi regulator tak sekadar pemantau isi siaran, tetapi juga berwenang pada proses perizinan. Sehingga dengan metode seperti ini diharapkan juga bisa menyelesaikan permasalahan regulator penyiaran dari hulu ke hilir. Amanah Undang-Undang Penyiaran 32/2002 regulator di level daerah dipilih oleh DPRD, tentunya ini sedikit banyaknya juga akan mengarah kepada tawar-menawar politik, sehinga mengakomodir kepentingan politik tidak bisa lagi dielakkan.

Tidak bisa ditawar lagi, bahwa tahun ini, Prolegnas Penyiaran harus mampu membuat formula baru bagi keberlangsungan dunia penyiaran Indonesia yang lebih baik yang bisa mengatur permasalahan yang menjadi kelemahan Undang-Undang Penyiaran 32/2015 hari ini.Salam Penyiaran

Penulis : ASSYARI ABDULLAH, S.Sos., M.I.Kom.