web analytics

Pilkada dan Pohon Pelindung “Berdaun” Poster (Suardi)

Suardi, M.I.Kom Dosen Prodi Komunikasi FDIK UIN Suska Riau

Dengan Berbekal Linggis, Palu, dan sebuah tang, Suhaimi D, begitu kami biasa menyapa lelaki paruh baya itu, tampak memeriksa satu persatu pohon pelindung di sisi jalan yang dilaluinya pagi itu. Jika melihat ada paku tertancap dipohon tersebut, dengan cekatan ia pun segera mencabutinya.

Hampir setiap pagi Sabtu dan Minggu, aktivis pecinta pohon lindung ini melakukan rutinitas mencabuti paku. Biasanya, Suhaimi D yang juga mahasiswa S3 Lingkungan Hidup Universitas Riau ini, menelusuri ruas-ruas jalan di Kota Pekanbaru dengan sepeda onthelnya.

Sekali pergi, tak jarang Suhaimi D yang juga Dosen senior Prodi Komunikasi FDIK UIN Suska Riau ini, berhasil mencabuti 200 hingga 300 batang paku. “Biasanya saat menjelang musim Pilkada, tindakan memaku pohon-pohon pelindung dengan aneka poster dan spanduk sang calon kepala daerah akan meningkat” ujar Suhaimi D, dalam sebuah kesempatan berbincang-bincang dengan penulis.

Akibatnya, Pilkada telah membawa musim pohon pelindung berdaun poster. Terlepas dari misi dan kecintaan beliau terhadap pohon pelindung, sebagai pemerhati dan pengamat Komunikasi politik, penulis merasa tergelitik juga untuk mengetahui sejauhmana efektivitas Poster, Baliho dan Spanduk sang Calon Kepala Daerah dalam meraup suara pemilih. Karena jika melihat fenomena saat ini, poster, spanduk dan Baliho, yang notabene semuanya bentuk komunikasi nonverbal, tampaknya masih menjadi pilihan utama sarana bersosialisasi dan menarik simpati rakyat oleh para calon Kepala Daerah khususnya di Riau dan Indonesia pada umumnya. Penempatannya pun terkesan serampangan, tanpa mempedulikan etika dan estetika Memang, dalam hasil survei nasional tentang iklan politik dan perilaku pemilih menjelang pemilu 2009 lalu yang dilakukan Universitas Indonesia (UI), terungkap 72 persen sumber informasi tentang partai politik, calon kepala daerah dan calon legislatif diperoleh melaui spanduk atau Baliho. Artinya spanduk dan Baliho sebagai bentuk komunikasi non verbal, masih menjadi sumber informasi dominan bagi masyarakat dibanding pesan-pesan komunikasi politik lainnya.

Bicara pesan dalam komunikasi politik, selain membawa informasi juga memberikan makna kepada siapa saja yang menginterpretasikannya. Pesan merupakan konten atau isi dari kegiatan komunikasi secara umum. Pesan dalam komunikasi politik dalam praktik sejarahnya pernah dimaknai sebagai “peluru” untuk mempegruhi khalayak menjadi sasaran dalam komunikasi politik. Di era tahun 1940-an, pesan komunikasi dinggap sebagai peluru yang ditembakkan oleh komunikator kepada khalayak. Kahalayak dipandang sebagai entitas pasif menjadi sasaran gempuran pesan atau informasi. Itulah yang dikenal dengan istilah the Bullet Theory. Pesan komunikasi dianggap memiiki kekuatan powerful. Namun bagi negara-negara maju, teori ini sebenarnya sudah lama ditinggalkan. Seiring perkembangan masyrakat yang sudah semakin cerdas dan kritis. Lalu mengapa di masyarakat kita teori peluru dalam bentuk spanduk, Baliho dan Poster masih tegolong ampuh di era sekarang ini?.

Hal ini seakan menyiratkan ada gejala perkembangan Demokrasi yang cenderung tak seimbang di masyarakat kita. Memang benar bahwa semangat demokratis untuk mengungkapkan berbagai aspirasi sudah terbuka lebar, regulasi pun telah banyak memberikan tempat pada partisipasi publik untuk berdemokrasi.

Namun kompetensi masyarakat untuk pengungkapan aspirasi demokrasi masih acap kali menjadi persoalan. Secara empiris ada diskrepansi antara semangat demokrasi, perubahan-perubahan negara menjadi domokratis tidak diikuti kompetensi demokrasi secara menyeluruh.

Komunikasi politik yang terjadi, dikalangan grassroots dan beberapa kalangan elit politik masih lebih banyak dalam bentuk “kurang rasional”. Celakanya, sebagaian besar masyarakat kita seakan tak berdaya dan “ternina bobokkan” oleh pesan-pesan komunikasi politik tersebut. Misalnya saja, ketika sang calon kepala daerah melaui poster dan spanduknya, mengungkapkan pesan bahwa ia adalah pasangan yang santun dan berbudi. Namun ketika poster dan spanduk itu dipakukan di pohon- pohon pelindung tanpa memperhatikan etika dan estetika, nalar sebagian besar masyarakat kita seakan mati. Masihkah perilaku itu mencerminkan perilaku santun dan berbudi? Lihat saja pada masa-masa kampanye pemilu maupun Pilkada. Bentuk kampanye yang dilakukan cenderung sangat sedikit menyentuh persoalan kognisi khalayak. Yang terjadi malah lebih cenderung pada eksploitasi emosional khalayak dengan bentuk pemasangan umbul-umbul bendera, gambar maupun baliho, bergambar para tokoh politik dan bentuk-bentuk komunikasi non verbal lainnya.

Seperti pengerahan massa dan penampilan panggung-panggung hiburan. Aspirasi-aspirasi politik belum diwujudkan dalam wacana perbincanga melalui opini publik yang kualitatif.  Dengan kata lain, partisipasi masyarakat dalam proses politik masih dalam tahap partisifasi fisik dan visual belaka. Kehadiran visual lah yang memiliki makna dominan sebagai bagian dari pesan politik.

Hal itu makin diperparah dengan adanya kesan para elit politik sendiri seakan menikmati kondisi ini. Bahkan terkesan malah dimanfaatkan. Dimana terkesan band wagon eefect acap kali menjadi perioritas utama para elit politik saat ini, dengan visualisai. Tujuannya tentu saja menunjukkan jumlah dukungan yang besar.

Dari persfektif budaya, komunikasi non verbal terutama dalam bentuk visual keberadaannya sangat akrab dengan budaya masyarakat Indonesia. Tak heran, Philip R. Harris dan Robert T. Moran dalam sebuah tulisannya tentang memahami perbedaan-perbedaan budaya mengemukakan, budaya-budaya Timur cenderung melukiskan sesuatu dengan menggunakan visualisasi-visualisasi.

Sedangkan budaya-budaya Barat lebih cenderung menggunakan konsep-konsep. Makanya tak heran bagi sebagian besar masyarakat kita, orang yang sukses dan hebat itu diidentikkan dengan berpenampilan “mentereng”, kedaraan mengkilap dan tinggal di rumah mewah. Namun secara konsep apakah iya?. Bagaimana kalau semua itu didapatkan dengan keculasan, kelicikan dan menghalalkan segala cara?. Ditambah lagi peribahasa-peribahasa yang seakan telah begitu mengakar dalam budaya kita. “Diam itu emas”, “tong kosong nyaring bunyinya”, “air beriak tanda tak dalam” atau “Samdo Pandito ratu” yang menggiring lebih dihargainya bahasa nonverbal dibanding kecakapan bahasa lisan dalam komunikasi. Oleh antropolog Edward T. Hall disebut sebagai high context culture. Dimana kemudian budaya ini dipertahankan sebagai bagaian dari budaya “adiluhung” bangsa, yang sebenarnya jika ditelusuri berasal dari budaya feodalisme masa lalu.

Kalaulah kita mau melihat secara objektif, tentu saja budaya-budaya seperti ini sebenarnya tidak sesuai dengan tuntutan demokrasi modern. Dimana lebih banyak menuntut pentingnya argumentasi, dialog, hingga perdebatan. Demokrasi pada dasarnya sangat menghargai pentingnya bahasa verbal sarat informasi dan pengetahuan.

Akibatnya, jika kondisi ini tetap berlangsung, maka dikrepansi antara semangat demokrasi dan kompetensi demokrasi akan semakin terpisah. Disisi lain masyarakat menerapkan dan memahami demokrasi hanya dari sisi semangatnya, tanpa pemahaman yang memadai mengapa mereka betindak demikian. Sepertihalnya gejala yang muncul saat ini, demokrasi hanya diterjemahkan sebagai kebebasan dalam mengemukakan tuntutan. Dimana terkadang tuntutan itu sendiri merupakan “harga mati” tanpa bisa dikompromikan. Ukuran kualitatifnya lebih kepada banyaknya pendukung dari tuntutan itu, bukan rasional atau tidaknya tuntutan tersebut.

Memang partisipasi masyarakat tampak tinggi, namun jika dikaitkan dengan konsep aktivist rasionality yang menjadi indikator demokrasi seperti dikemuka Almon dan Clomen belumlah memenuhi. Dimana, banyaknya bagaian dari masyarakat yang aktif memepengaruhi pengambilan keputusan governmental affairs, lebih didasarkan pada informasi dan pengetahuan yang cukup. Yang terjadi sekarang acapkali sebaliknya. Sehingga yang muncul malah bisa disebut activist irrasionality.

Jika ini dibiarkan, bisa saja mengundang terjadinya konflik horizontal dimasyarakat, bahkan bisa saja mengancam disintegrasi bangsa. Karena semangat demokrasi lebih memunculkan dukungan total secara non verbal dalam visuaisasi. Baik berupa spanduk, poster, gelombang massa pendukung maupun semangat memunculkn simbolisasi lainnya. Tanpa memunculkan kempetensi kognitif berdemokrasi, yang memungkinkan terjadinya gesekan-gesekan dari kekuatan politik yang berbeda.

Sudah saatnya para elit politik peduli, tanpa hanya mendahulukan kepentingan politik. Disis lain, masyarakat pun harus melepaskan diri dari kungkungan budaya feodal, dan melangkah pada peningkatan kompetensi kogniti sehingga makin bias mewujudkan demokrasi yang kita impikan.***