web analytics

Menyoal Hari Valentine (Syamsuddin Muir)

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska Riau

 

MENJADI kebiasaan sebagian remaja Islam, pada 14 Februari, ikut-ikutan merayakan Hari Valentine  yang dianggap sebagai simbol hari kasih sayang antara lelaki- wanita yang tidak diikat dengan tali pernikahan. Terlihat jelas, perayaan Hari Valentine merupakan diantara bentuk pergaulan bebas yang melanda sebagian remaja Islam.

Dulu, Rasulallah sudah menyatakan bahwa nanti bakalan ada sebagian umatnya mengikuti gaya hidup Yahudi dan Nasrani, sekalipun hingga masuk ke lubang biawak (HR al-Bukhari dan Muslim).

Nah, apakah Islam membolehkan umatnya mengikuti perayaan Hari Valentine?

Sejarah Hari Valentine

Berbagai sumber menjelaskan, Hari Valentine (Valentine’s Day) itu merupakan upacara ritual agama Romawi Kuno. Pada tahun 496 M, Paus Gelasius I memasukkan upacara ritual Romawi kuno itu kedalam agama Nasrani.

The Encyclopedia Britania mengutarakan agar lebih mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno itu menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine Day untuk menghormati St Valentine yang kebetulan meninggal pada 14 Februari.

Katanya , Uskup Valentine itu orang yang dianggap Santo (orang suci) yang menggantikan dewa Lupercus yang penyayang. Penyembahan dewa Lupercus sudah menjadi bagian dari tradisi upacara keagamaan Romawi pada masa dahulu kala.

Sejarahnya lagi, Kaisar Romawi pernah memerlukan sejumlah besar tentara yang dipersiapkan untuk berperang. Lalu, Kaisar Romawi melarang melakukan perkawinan yang dianggapnya bisa membuat prajurit menjadi lemah dan tidak bersemangat.

Namun, Santo Valentine merestui perkawinan terselubung antara muda-mudi  yang saling mengikat hubungan cinta. Celakanya, Kaisar Romawi mengetahui hal itu. Lalu Kaisar menangkap Santo Valentine, kemudian dijatuhi hukuman mati pada tahun 270 M, dan mayatnya dikuburkan di tepi jalan Flamenia.

Pada masa Kaisar Constantin (280-337), upacara Hari Valentine tersebut kembali didesain dan dimodifikasi dengan penambahan pesan-pesan cinta yang disampaikan para gadis. Kemudian, mereka berpasangan dan berdansa yang diakhiri dengan melakukan zina.

Pada tahun 494 M, Paus Galasium I mengubah upacara tersebut dengan bentuk rutinitas seremoni porofikasi (pembersihan dosa), dan juga mengubah upacara Lupercalia menjadi 14 Februari yang secara resmi ditetapkan pada tahun 496 M sebagai Hari Valentine.

Khurafat Hari Valentine

Dari penuturan berbagai sumber itu diketahui, kerajaan Romawi itu didominasi agama penyembah berhala atau dewa, dan Valentine itu seorang penganut Kristen Katolik yang dieksekusi mati oleh Kaisar Romawi. Nah, ketika Romawi resmi memeluk agama Kristen, maka hari eksekusi Valentine itu dijadikan hari raya mengingat Valentine.

Penulis buku ‘Id ad-Hubb, Dr Khalid al-Syayi’ menambahkan, bagi bangsa Romawi tanggal 14 Februari itu juga mengandung berbagai khurafat. Diantaranya, hari itu merupakan hari suci bagi salah satu tuhan bangsa Romawi yang mereka khususkan bagi wanita dan lelaki yang sedang dimabuk cinta.

Fatwa Ulama

Jelas, asal hari Valentine itu adalah akidah pemuja berhala di kalangan bangsa Romawi, lalu dimasukkan dalam keyakinan Kristen Katolik. Tapi, pada tahun 1969 M, Hari Valentine itu dihapus dari kalender gereja. Sebab, Santo Valentine itu tidak jelas asal-muasalnya, hanya bersumber pada legenda. Sebagian Pastur Katolik menolak perayaan Hari Valentine dan acara ini pernah dilarang di Italia. Namun pesta ini masih dirayakan pada paroki-paroki tertentu.

Memang, MUI pusat belum mengeluarkan fatwa tertulis dan resmi tentang hukum perayaan Hari Valentine. Namun tokoh-tokoh MUI pusat mengharamkannya. Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin dengan tegas menyatakan bahwa merayakan hari kasih sayang atau Valentine’s Day hukumnya haram. Dilihat dari perayaannya penuh dengan banyak pesta, mabuk-mabuk. Jadi, tanpa mengeluarkan fatwa secara khusus, sudah ketahuan haramnya. Begitu kata KH Makruf Amin.

Tambahan lagi, hari raya dalam Islam itu ibadah dan dalam Islam hanya ada dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha. Merayakan Hari Valentine itu mengikuti tradisi Romawi penyembah berhala, dan mengikut Kristen Katolik. Padahal mengikuti non-muslim dalam akidah, ibadah, tradisi atau mengikuti gaya hidup mereka itu dilarang (Haram) dalam Islam (QS: al-Hadid:16). Bahkan Rasulallah menyebutkan orang yang menyerupai (mengikuti) suatu kaum, maka orang itu dianggap bagian dari kaum itu (HR Ahmad).

Tujuan Hari Valentine pada saat ini  terkesan membina kecintaan sesama umat manusia, tanpa membedakan kafir dan muslim. Jelas ini bertentangan dengan Alquran (QS:al-Mujadilah:22). Dunia bisa juga melihat kasih sayang yang dianjurkan dalam Hari Valentine itu adalah kasih sayang antara lelaki dan wanita yang bukan suami istri. Ini jelas merupakan propaganda membuka pintu perzinaan. Makanya seorang muslim tidak boleh (haram) merayakan Hari Valentine. Begitu kata Syaikh Ibrahim al-Huqail dalam bukunya ‘Id al-Hubb.

Seorang ulama terkemuka di palestina, Syaikh Husamuddin Musa ‘Afanah dalam bukunya Yas’alunak menjelaskan, Rasulallah mengatakan, setiap kaum itu ada hari rayanya (HR al-Bukhari). Berdasarkan  hadis ini, para ulama menegaskan, tidak boleh (haram) bagi umat Islam merayakan hari raya agama lain. Maka dilarang (haram) bagi umat Islam merayakan Hari Valentine. Karena, perayaan Hari Valentine itu bagian dari syiar agama Romawi Kuno yang berisi berbagai Khurafat. Dan haram juga menjual segala peralatan  yang digunakan dalam perayaan Hari Valentine. Syaikh ‘Afanah juga menambahkan, bahwa para ulama kontemporer telah mengeluarkan fatwa larangan bagi umat Islam merayakan Hari Valentine.

Syaikh Ibrahim al-Huqail menegaskan bahwa umat Islam dilarang merayakan Hari Valentine. Umat Islam juga tidak boleh membantu non-muslim merayakannya. Umat Islam juga berkewajiban mencegah remaja muslim yang melakukan  perayaan Hari Valentine. Bahkan, beliau menegaskan, umat Islam juga dilarang mengucapkan selamat Hari Valentine, sebab itu bukan hari raya umat Islam.

Dulu, Rasulallah SAW sudah menegaskan, suatu bangsa (Negara) yang mengizinkan perbuatan zina, pasti Negara itu akan ditimpa penyakit yang mematikan yang tidak pernah ada pada bangsa terdahulu. Masyarakat yang berbuat curang dalam timbangan bisnis, mereka akan ditimpa masa paceklik (krisis moneter). Masyarakat yang tidak mau membayar zakat , mereka akan ditimpa musim kamarau yang berkepanjangan. Jka tidak karena adanya hewan ternak, tak akan turun hujan dari langit. Jika suatu bangsa melanggar perjanjiannya dengan Allah SWT dan Rasulnya (melanggar syariat Islam), niscaya bangsa itu akan dikuasai oleh musuhnya. Lalu musuh itu juga menguasai hasil negaranya. Jika pemimpin umat Islam itu tidak menerapkan syariah Allah SWT, maka akan terjadi peperangan sesama umat Islam itu sendiri (HR Ibnu Majah dan al-Baihaqy).

Begitu, Rasulallah SAW memberikan peringatan kepada umatnya. Renungkanlah.

 

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donni, Azmi)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat (12/02/2016).

redaksi@uin-suska.ac.id