web analytics

Kedudukan Waktu dalam Ibadah (Syamsuddin Muir)

Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau

TRAGEDI Mina pada musim ibadah haji tahun ini bukan saja meninggalkan duka bagi keluarga korban, tapi juga meninggalkan luka bagi umat islam. Luka pertama berupa opini sebagian umat Islam yang menyalahkan Arab Saudi tanpa menyelidiki sebab terjadinya tragedi  yang  menewaskan lebih 700 korban jiwa itu. Luka kedua berupa munculnya pendapat sebagian umat yang melanggar ketentuan Islam dengan mengusulkan pelaksanaan ibadah  haji itu tidak hanya pada bulan Zulhijjah, tapi boleh saja di bulan-bulan lain.

Tragedi Mina

Dalam tragedi Mina itu kurang tepat bila menyalahkan Arab Saudi secara totalitas. Karena, selama ini Arab Saudi telah mengerahkan semua kemampuannya dengan baik dalam mengelola pelaksanaan ibadah haji. Baik dari aspek penyediaan fasilitas, begitu juga dari aspek pelayanan terhadap para jemaah haji.

Setelah beberapa hari tragedi  Mina, berbagai media Arab Saudi melampirkan fakta-fakta di lapangan yang menunjukkan penyebab terjadinya tragedi tragis itu. Diantaranya adalah sebagian jamaah haji (jamaah Iran) melawan arus saat pulang dari jamarat yang mengakibatkan bertabrakan dengan para jamaah haji menuju jamarat.

Di berbagai media juga bisa diketahui adanya unsur terencana oleh sebagian pihak tertentu hendak merusak nama baik Arab Saudi melalui merusak keamanan saat ibadah haji berlangsung.

Waktu Pelaksanaan Ibadah

Waktu punya kedudukan utama dalam pelaksanaan ibadah. Contoh, waktu kewajiban melakukan wudhu’ itu saat hendak shalat bagi orang yang dalam kondisi hadats. Ini sesuai dengan ayat 6 surat al-Maidah.

Begitu juga mengenai waktu kewajiban mandi wajib. Dalam kitabnya al-majmu’ Syarh al-muhazzab (1/491), Imam al-Nawawi mengutip pernyataan Iman al-Juwainy bahwa ulama sepakat tentang kewajiban mandi wajib dan wudhu’ itu setelah masuknya waktu salat.

Ini bermakna, sebelum masuk waktu salat itu merupakan waktu sunat melakukan wudhu’ dan mandi wajib. Begitu juga dianggap sunat berwudhu dan mandi sebelum tidur bagi orang dalam keadaan junub. Begitu penjelasan Iman al-Qurthuby dalam kitabnya al-Mufhim (1/265)

Contoh lagi, mayoritas ulama mengatakan bahwa awal waktu shalat Jumat ialah setelah tergelincir matahari, sesuai penjelasan Imam al-Syafi’i bahwa Rasulallah SAW, Abu Bakar, Umar dan semua ulama fiqh melaksanakan salat Jumat setelah tergelincir matahari. Begitu penjelasan Imam al-Nawawi  dalam kitab al-Majmu’ (4/380).

Misalnya lagi, hadits Abu Dawud dari Ibnu Abbas, Rasulallah SAW menegaskan bahwa waktu pelaksanaan zakat fitrah sebelum pelaksanaan Salat Idul Fitri. Makanya mayoritas ulama mengatakan waktu mengeluarkan  zakat fitrah itu setelah terbenam matahari akhir Ramadhan (malam Idul Fitri). Begitu penjelasan Imam Ibnu Rusyd al-Qurthuby dalam Bidayah al-Mujtahid (1/206).

Ulama juga sepakat membolehkan mengeluarkan zakat fitrah sebelum masuknya waktu wajib. Hal ini sesuai riwayat Imam al-Bukhari tentang pernyataan Ibnu Umar bahwa pada masa beliau zakat fitrah itu dikeluarkan dua hari sebelum Idul Fitri.

Umpamanya lagi, sesuai ayat 187 surah al-Baqarah, dan hadits riwayat Imam Abu Dawud, para ulama sepakat mengatakan waktu niat puasa Ramadhan itu di malam hari  hingga terbit fajar. Jika memungkinkan, sebaiknya niat puasa Ramadhan itu pada waktu fajar hendak terbit. Bisa dilihat rincian penjelasannya dalam kiab al-Mughni (4/150) oleh Imam Ibnu Qudamah.

Nampak, semua ibadah dalam Islam itu sangat erat kaitannya dengan waktu pelaksanaannya. Bahkan ibadah  salat juga dilaksanakan sesuai dengan waktu-waktu yang ditentukan oleh syariat Islam (QS: al-Nisa :103).

Miqat Zamani Ibadah Haji

Surah al-Baqarah, ayat 197 menegaskan waktu  (miqat zamani) bagi pelaksanaan ibadah haji,  yaitu bulan Syawwal, Zulqaidah dan zulhijjah. Maknanya, ibadah haji hanya dilakukan pada bulan-bulan itu sesuai dengan sunnah Rasulallah SAW. Tidak seperti perubahan yang dilakukan oleh Arab Jahiliyyah dengan menukar bulan pelaksanaan haji. Begitu penjelasan Syaikh al-Zuhaily dalam kitabnya al-Tafsir al-Munir (1/572).

Penjelasan Alquran itu diperkuat oleh riwayat Imam al-Bukhari tentang pernyataan  Ibnu Abbas, bahwa ihram ibadah haji hanya boleh dilakukan pada bulan haji.

Makanya, Imam al-Syafi’i  menegaskan. Ihram haji yang dilakukan sebelum masuknya waktu haji , maka ihramnya itu jadi ihram umrah, bukan ihram haji. Karena tidak boleh melakukan ihram haji sebelum waktunya. Sebagaimana tidak boleh melaksanakan salat zuhur sebelum waktunya. Bisa dilihat dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah (2/143).

Lalu, penulis buku Fiqh al-Hajj wa al-Umrah, Syaikh Hasan Ayyub menyatakan, semua ulama sepakat bahwa rukun ibadah haji itu mesti dilakukan pada bulan haji saja.

Namun begitu, Dr Nazar Mahmud Qasim dalam bukunya Mawaqit al-Ibadat, mengatakan bahwa ulama sepakat waktu ibadah haji itu adalah bulan Syawal, Zulqa’dah dan Zulhijjah. Cuma, ulama beda pendapat tentang siang hari nahar (Idul adha) hingga akhir bulan Zulhijjah.

Pertama, Fiqh Maliki mengatakan , seluruh bulan Zulhijjah itu adalah bulan haji. Kedua, Fiqh Hanafi dan Hanbali mengatakan , bulan haji itu dimulai dari bulan Syawwal hingga terbenam matahari pada nahar. Ketiga, Fiqh Syafi’i pula menegaskan, waktu haji  itu awal bulan Syawwal hingga terbit fajar hari nahar, siang hari (nahar) itu tidak masuk dalam waktu haji.

Menurut perbedaan ini, Fiqh Maliki memperbolehkan mengakhirkan tawaf ifadhah hingga akhir Zulhijjah. Fiqh Hanafi pula mengatakan waktu melakukan tawaf ifadhah berakhir pada hari ketiga Idul Adha. Jika dilakukan setelah itu, maka wajib bayar dam. Fiqh al-Syafi’i dan al-Hambali punya membolehkan melakukan tawaf ifadhah setelah hari nahar tanpa dikenakan dam.

Satu lagi, ulama juga berbeda pendapat tentang awal waktu wuquf di Arafah. Perbedaan ini disebabkan berbeda memahami hadits Urwah bin Mudharis al-Tha’i riwayat Imam Abu Dawud.

Fiqh al-Hanbali mengatakan waktu wuquf dimulai sejak terbit fajar hari Arafah hingga terbit fajar hari nahar. Mayoritas ulama pula mengatakan, awal waktu wuquf di Arafah itu sejak tergelincirnya matahari hari Arafah. Fiqh Al-Syafi’i pula menggabungkan antara siang dan malam saat wuquf  di Arafah itu adalah sunat, bukan wajib. Jika keluar dari Arafah menuju Musdalifah sebelum terbenam matahari, maka wuqufnya sah, dan tak wajib bayar dam.

Pelaksanaan Ibadah Haji

Runtutan pelaksanaan haji sesuai waktunya itu ialah : pertama, Hari tarwiyah (8 Zulhijjah), jamaah haji yang belum ihram melaksanakan ihram (memakai kain ihram niat haji). Kemudian menuju Mina hingga terbit matahari hari Arafah.

Kedua, pagi 9 Zulhijjah, dari Mina, jamaah haji menuju Arafah melaksanakan wuquf hingga terbenam matahari. Kemudian para jamaah haji meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah melaksanakan mabit hingga terbit fajar Idul Adha.

Ketiga, sebelum terbit matahari Idul Adha, jamaah haji bergerak menuju Mina.  Sampai di Mina,  jamaah haji melempar jamrah al-Aqabah. Kemudian memotong al-hady (hewan) bagi haji tamattu’ dan haji qiran. Kemudian, jamaah haji memotong atau mencukur rambut. Maka, selesai tahallul awwal. Setelah itu jamaah haji melaksanakan tawaf ifadhah. Maka selesai tahallul tsani.

Keempat, jamaah haji kembali ke Mina melaksanakan mabit dan melempar jamarat. Kelima, setelah selesai mabit di Mina, jamaah haji melaksanakan tawaf wada’. Lebih lengkap penjelasannya bisa dilihat dalam buku al-Hajj wan al-Umrah oleh Syaikh Nuruddin “Itir.

Nah, ibadah haji itu sudah ditetapkan waktu pelaksanaannya, dan  tidak sah dilakukan di luar waktunya. Hanya orang Arab Jahiliyah zaman dahulu saja yang menukar dan mengubah waktu pelaksanaan ibadah haji.

 

Diposkan Oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat, 23 Oktober 2015

redaksi@uin-suska.ac.id