web analytics

Nikmat Membawa Sengsara (Yusuf Rahman)

Mantan Rektor IAIN Susqa Riau (Sekarang UIN Suska Riau)

JAUH sebelum Nabi Adam AS diciptakan Allah SWT, lebih dahulu diciptakan sarana kehidupan bagi keturunan manusia pertama itu. Sarana itu terdapat di daratan, di lautan, dalam perut bumi dan di udara. Sarana itu berupa flora dan fauna, material bangunan baik di darat maupun di dalam laut, enerji yang berasal dari fosil, panas bumi dan bahkan energi surya serta oksigen yang terdapat di udara.

Semua  itu disebut nikmat dan bila dirinci tak terhitung banyaknya. “Dan jika kamu menghitung nikmat Tuhan itu niscaya kamu tidak akan mampu  menghitungnya …”(QS an-Nahl  18 ).   Semua nikmat itu untuk disyukuri,  bukan untuk diingkari.  “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan demi jika kamu bersyukur pasti akan Kami  tambah nikmat untukmu dan demi jika kamu ingkari nikmat-Ku  maka  sesungguhnya azab-Ku  amat pedih”  (QS Ibrahim  7 ).  Mensyukuri nikmat Tuhan itu adalah dengan cara  menggunakannya sesuai dengan kehendak-Nya  dan bila tidak maka engkau dicap ingkar (kufur) nikmat dengan segala risikonya.

Hutan sebagai Nikmat
Hutan merupakan sumber daya alam yang amat bernilai karena di dalamnya terkandung  keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan berupa kayu dan non- kayu, pengatur tata air dengan cara menyimpan air hujan yang turun dari langit sehingga banjir dan erosi kesuburan tanah dapat terjaga. Di tengah hutan terdapat alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi pariwisata  yang harus  dilindungi.

Karena itu perlindungan dan pemanfaatan hutan telah diatur dalam UU No 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No 41 tahun 1997, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Direktur Jendral di lingkungan kementerian itu. Jika ketentuan-ketentuan dalam berbagai peraturan itu dipatuhi maka hutan akan  bermanfaat dalam memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945.

Akan Tetapi …
Akan tetapi realitasnya jauh panggang dari api.  Gangguan terhadap sumber daya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya terus meningkat dalam bentuk pembabatan hutan dan pembakaran hutan dan lahan (Karhutla). Kerusakan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 persen.

Ini sangat signifikan karena karbondioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global.  Salju dan penutupan es telah menurun sehingga dalam kurun waktu berikutnya es di kedua kutub akan mencair dan mengalir ke lautan di kawasan sub-tropis dan bahkan tropis.  Dalam pada itu suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautam meningkat  100-200 mm selama abad terakhir. Bila level permukaan laut terus meningkat, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1 derajat celcius akan lebih panas menjelang tahun 2025.

Peningkatan permukaan air laut dapat menggelamkan banyak wilayah, yaitu pulau-pulau yang sekarang hanya sedikit lebih tinggi dari permukaan air laut. Di Asia pulau yang bakal tenggelam itu antara lain terletak di selatan Bangladesh.

Namun dampak buruk yang disebabkan karhutla beragam. Pertama, di Riau saja penderita ISPA mencapai ribuan. Menangani penyakit ini diperlukan dana yang tidak sedikit.

Proses belajar mengajar terganggu karena sekolah beberapa kali diliburkan, bahkan terdapat pula perguruan tinggi yang tidak dapat menyelenggarakan perkuliahan. Ini tentu menghambat bagi pembangunan sumber daya manusia.

Bandara SSK II beberapa kali  dilumpuhkan kabut asap sehingga pesawat gagal terbang dan mendarat.  Jamaah haji dari Rohul yang selamat tiba di Batam diterbangkan ke Bandara Internasional Minangkabau  di Padang lalu naik bus  ke kampung halaman. Dunia penerbangan menderita kerugian finansial dan penumpang yang pesawatnya gagal mendarat atau calon penumpang yang gagal terbang, jelas kecewa. PLN melakukan pemadaman bergilir akibat ketinggian air di waduk tidak mampu secara maksimal menggerakkan turbin.

Kekecewaan bukan saja dialami orang Indonesia tetapi juga oleh warga negara tetangga, Singapura dan Malaysia, oleh karena kita mengekspor asap ke negara mereka. Pemerintah Singapura negerinya dibuat repot olah kabut asap mengirimkan helikopter untuk memadamkan titik api. Di Malaysia sekolah juga ditutup dan Perdana Menteri Najib Razak meminta Indonesia menindak tegas pembakar hutan.

Dari apa yang diungkapkan di atas jelas bahwa hutan adalah nikmat yang seharusnya membahagiakan kita. Apa yang terjadi bertentangan dengan itu yakni  hutan menimbulkan kesengsaraan, nikmat membawa sengsara. Ini bertentangan dengan karangan  seorang pengarang era Pujangga Baru dalam novelnya  Sengsara Membawa Nikmat.

Solusi
Ketika orang mengenal kebun sawit yang secara ekonomi bernilai tinggi  maka bencanapun bermula di sini dengan membabat dan membakar ribuan  hektare hutan. Ini tidak mungkin dilakukan kecuali oleh para pemodal besar.

Mengantisipai agar bencana tidak terjadi lagi, para pemodal yang dewasa ini melakukan karhutla perlu dibuat jera melalui penegakan hukum dengan merampas lahan yang dibakar untuk negara, mencabut izin usahanya  dan menjatuhkan  hukuman pidana padanya. Selain itu, pemodal yang masa izinnya habis tidak diperpanjang lagi dan lahanya diambil oleh negara.

Akhirnya, marilah kita nikmati kembali hutan sebagai nikmat Tuhan dengan melakukan penanaman kembali hutan yang dibakar (reboisasi). Bila tidak, kita tidak saja dicap sebagai bangsa yang bebal, juga dikutuk Tuhan karena mengingkari nikmat-Nya. Na’uzubillah min zalik.

 

Diposkan Oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Senin, 12 Oktober  2015

redaksi@uin-suska.ac.id