web analytics

Meneroka Media Sosial dalam Komunikasi Politik (Suardi, M.I.Kom)

Dosen Komunikasi Politik FDIK UIN Suska Riau

Mengisi hari libur beberapa waktu lalu, penulis mencoba berkeliling kampung menelusuri pedesaan-pedesaan di Kecamatan Rumbio Jaya, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Untuk sekadar melepas lelah, penulis pun menyempatkan diri untuk singgah di sebuah kedai kopi yang terletak di tepian Sungai Kampar, tepatnya di desa Teratak Kecamatan Rumbio Jaya.

Tak jauh dari tempat penulis duduk, tampak sekumpulan anak muda desa yang memegang dan memiliki alat komunikasi berupa gadget dan smartphone dengan berbagai merk. Sambil bercerita, mereka pun tampak sibuk memperhatikan, sesekali mengotak atik layar gadged dan smatrphone di tangan masing-masing.

Ternyata seiring perkembangan zaman, keperluan pada internet tak hanya milik orang-orang kota atau kalangan eksekutif saja. Namun sudah menjalar, hingga ke pelosok-pelosok pedesaan terutama di kalangan anak muda. Meski di antara anak muda desa ini mengaku, tak terlalu memanfaatkan berbagai aplikasi yang ada pada alat komunikasi mereka, namun yang pasti rata-rata mereka mengaku aktif menggunakan media sosial pada gadget dan smartphone milik mereka.

Fenomena baru di kalangan masyarakat, khususnya para anak muda ini tentunya memberikan peluang-peluang tersendri. Salah satunya di bidang komunikasi politik, baik bagi pemerintah, dan politikus. Apatah lagi menjelang pemilihan kepala daerah serentak beberapa daerah di Riau, dan juga pemilihan legislatif nantinya.

Memang seperti diungkapkan pakar komunikasi, Deddy Mulyana dalam bukunya Komunikasi Politik, pada masa mendatang komunikasi politik di Indonesia akan semakin menarik. Media massa baik televisi, surat kabar dan juga internet, akan menjadi media utama kampanye politik menjelang pemilihan kepala daerah, seperti gubernur, bupati dan wali kota.

Jika kita cermati, apa yang diungkapkan pakar komunikasi ini pun beberapa tahun yang lalu sebenarnya sudah mulai tampak. Para politisi, baik calon kepala daerah dan bakal calon kepala daerah anggota legislatif, kepala daerah, bahkan presiden tampak bersileweran dengan akun-akun media sosialnya. Mereka juga terlihat aktif sebagai anggota jejaring sosial terkemuka, khususnya twitter dan Facebook, baik dalam usaha menarik pengikut sebanyak-banyaknya, membangun citra atau menyampaikan komunikasi-komunikasi politik.

Tujuannya, tentu saja meraih dukungan khalayak, guna menduduki jabatan yang mereka inginkan. Terlepas apakah pengelolanya adalah mereka sendiri atau “penjaga gawang” (gate keeper) yang khusus ditugaskan untuk itu. Lebih lanjut Deddy Mulayana mengungkapkan, Diketahui para pejabat, politisi atau tokoh nasional yang aktif menggunakan media sosial di Twitter per April 2013 beserta jumlah pengikutnya berturut-turut adalah: Presiden Joko Widodo dengan 482.288 orang pengikut, Dahlan Iskan 348.140, Anies Baswedan 209,923, Prabowo Subianto 150.124, Hatta Rajasa 139.807, Yusril Ihza Mahendra 136.986, Mahfud MD 122.188, Aburizal Bakrie 99.070 ,Jusuf Kalla 72.795, Puan Maharani 25.094, Wiranto 2.621.  Namun ada juga media yang mengatakan akun sebagian pengikut dari tokoh tersebut diduga palsu dan sebagian akun lagi tidak aktif.

Terlepas dari itu semua, meskipun para politisi ini dapat menggalang dukungan lewat media sosial, namun tak jarang juga mereka sekaligus mendapatkan serangan dari khalayak lain yang tak menyukai mereka di media sosial tersebut. Tentu saja ini merupakan fenomena sosial yang harus jadi pertimbangan para politkus yang aktif menggunakan media sosial tersebut.

Di masyarakat Riau sendiri jika kita cermati, banyak masyarakat pengguna media sosial mengkritisi bahkan menghujat langsung para politikus yang dianggap gagal dalam menuntaskan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Seperti halnya mengatasi masalah asap, pemadaman listrik dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya yang dianggap gagal dan merugikan masyarakat.

Paling tidak ini juga menandakan masyarakat sudah semakin kritis, yang menuntut komunikator-komunikator politik harus lebih profesional, cerdas dan bijak dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya. Alih-alih mendapatkan keuntungan, yang didapat malah bisa saja sebaliknya. Khalayak menjadi kurang simpati, dan meruntuhkan citra diri sang politikus.

Dalam pengamatan penulis beberapa waktu terakhir, masih banyak akun-akun media sosial para politikus dan calon kepala daerah yang menyampaikan pesan komunikasi politik dengan pola-pola lama. Mereka seakan  masih terfokus dan jadi penganut teori komunikasi politik “jarum hipordemik  atau hypordemic needle theory”. Di mana, pesan yang disampaikan di media begitu perkasa, pesan politik apapun yang disampaikan kepada khalayak, apalagi melalui media massa termasuk media sosial, pasti akan berdampak positif berupa citra yang baik, penerimaan atau dukungan.

Tak peduli apakah pesan-pesan politik tersebut kadang harus menafikan fakta-fakta, nilai-nilai, bahkan logika. Tak jarang, pesan-pesan politik yang disampaikan terkesan nyeleneh dan dipaksakan. Bahkan ada yang malah terkesan lebay. Untuk khalayak yang pasif dan awam, boleh saja cara-cara ini masih ampuh. Lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat yang kian kritis, kian dewasa dan mulai cerdas? Yang mulai bisa membedakan antara hanya lip service, pencitraan dan kebenaran?
Di negara-negara barat dan negara-negara maju lainnya teori jarum hipordemik dengan pola-pola lamanya, sebenarnya sudah lama ditinggalkan. Di samping dianggap sudah klasik, dengan tokoh-tokohnya LA Richard (1936) Raymon Bauer (1964) Schramm & Robert (1977), pola-polanya juga dianggap sudah tak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat yang kian cerdas.

Sebagai gambaran, Bob Dole adalah calon presiden pertama di dunia yang menggunakan situs internet dalam kampanye politik. Ia terutama ingin mendapatkan dukungan dari pemilih muda lewat pesan-pesan politiknya. Situsnya pun dikunjungi oleh lebih dari dua juta orang. Di sisi lain, isi pesan-pesan yang disampaikan masih terkesan serampangan, dengan pola-pola jarum hiperdemik. Hasilnya, bukannya seperti yang diharapkan, dalam pemilu Amerika Serikat (AS) tahun 1996 itu, Dole dikalahkan lawannya Bill Clinton.

Dalam perkembangannya, para komunikator politik Amerika pun beralih pada pola the obstinate audience theory atau juga dikenal dengan teori khalayak kepala batu. Di mana para komunikator komunikasi politik tidak lagi percaya khalayak pasif dan dungu serta tak mampu melawan keperkasaan media. Khalayak justru sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif.
Dalam komunikasi politik, khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap terhadap terpaan semua pesan kepada mereka. Komunikasi merupakan transaksi pesan, pesan yang masuk akan diseleksi, kemudian akan disaring diterima atau ditolak melalui filter konseptual. Adapun pola penyampaian pesannya, fokus pada pengamatan terutama pada komunikan. Melalui pendekatan psikologis dan sosiologis.

Di Indonesia sendiri, diantara para komunikator politik kita sebenarnya sudah mulai kearah pola Teori empati dan homofili. Dimana asumsinya, Komunikasi politik akan sukses, bila mampu memproyeksikan diri kedalam sudut pandang orang lain. Komunikasi ini didasarkan oleh kesamaan (homofili) akan lebih lancar ketimbang oleh ketidak samaan. Tokoh-tokohnya; Berlo (1960) Baniel Lierner (1978). Teori ini pun erat kaitannya dengan citra diri sang komunikator untuk menyesuaikan pikirannya dengan alam pikir khalayak.

Dalam pengamatan penulis, di antara tokoh politik kita yang telah menerapkan pola ini diantaranya Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan Wali Kota Bogor Bima Arya. Hal ini terlihat dari cara pendekatan Ridwan Kamil pada kebijakan dalam merelokasi PKL di daerah Dayang Sumbi dengan damai dan tanpa kekerasan. Sedangkan Wali Kota Bogor terlihat dari kebijakannya yang secara persuasif dalam mengatasi kemacetan di Kota Bogor.

Pada masa mendatang komunikasi politik di Indonesia akan semakin menarik. Seiring jumlah massa mengambang terutama di kalangan generasi muda kian bertambah. Ini berarti bahwa politisi perlu meningkatkan kepiawaian mereka untuk mempengaruhi rakyat. Rakyat semakin cerdas, pemimpin yang hanya sekadar menggunakan pencitraan akan ditinggalkan. Pemimpin otentik dan dekat dengan rakyat akan semakin digandrungi.

 

Diposkan oleh Tim LIptan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Tulisan ini Juga dimuat di Riau Pos Edisi Rabu tanggal 4 November 2015

 

redaksi@uin-suska.ac.id