web analytics

Kumandang Azan dan Dakwah Masjid

oleh: Syamsuddin Muir, Lc, MA

(Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska Riau)

Surat Edaran Kementerian Agama, Nomor: B.3940/DJ.III/HK.00.7/8/2018, sedikit menimbulkan berbagai tanggapan antara pro dan kontra di kalangan umat Islam. Maka, rasanya perlu sedikit memberikan tanggapan terhadap isu ini, agar Surat Edaran itu bisa diberikan penilaian dari berbagai tinjauan.

Kumandang Azan

 Menurut sejarahnya, kumandang azan itu disyaritakan setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Ini sesuai dengan hadits Ibnu Umar yang terdapat dalam Shahih Imam al-Bukhari, No. 579.

Menurut syariat Islam, kumandang azan itu bertujuan memberitahukan masuknya waktu sholat dan mengajak umat melaksanakan sholat berjamaah di masjid. Ulama Islam sepakat menganjurkan mengumandangkan azan dengan suara kuat. Ini sesuai dengan anjuran sahabat Nabi Abu Sa’id al-Khudri, agar Abdurrahman bin Abu Sha’sha’ah menguatkan suaranya saat mengumandangkan azan. Sebab, Rasulullah SAW menyatakan bahwa manusia, jin, dan lainnya yang mendengar lantunan azan muazzin itu akan menjadi saksi di hari akhirat kelak (HR. al-Bukhari).

Landasan kesepakatan ulama itu berpegang kepada sikap Rasulullah SAW yang memerintahkan Bilal bin Rabah mengumandangkan azan. Alasannya, suara Bilal bin Rabah itu lebih baik dan lebih kuat (HR. Abu Dawud, No. 499).

Atas dasar ini juga, Lembaga Fatwa Arab Saudi,  al-Lajnah al-Da’imah (6/65) mnegeluarkan fatwa atas kebolehan menggunakan pengeras suara saat mengumandangkan azan.

Dalam Surat Edaran Kementerian Agama itu tertulis bahwa kumandang azan waktu shalat subuh menggunakan pengeras suara keluar.  Kumandang azan shalat Zuhur dan shalat Jumat juga  menggunakan pengeras suara keluar. Bahkan, kumandang azan Ashar, Maghrib, dan Isya, menggunakan pengeras suara kedalam dan keluar.

Nampaknya, dalam Surat Edaran itu tidak ada larangan mengumandangkan azan shalat lima waktu dengan menggunakan pengeras suara kuat. Karena tujuan utama kumandang itu pemberitahuan masuknya waktu shalat dan panggilan melaksanakan shalat berjamaah.

 

Dakwah Masjid

Sebagai umat Islam, masjid itu merupakan tempat mulia dan punya peran yang sangat urgen dalam kelanjutan dakwah Islam. Hal itu bisa dilihat, ketika Rasulullah SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah, maka yang pertama didirikannya adalah masjid.

Masjid, sebagai pusat tempat ibadah, juga merupakan pusat aktivitas dakwah. Dari masjid semua kegiatan yang berdimensi ibadah, dakwah, pendidikan, kesejahteraan, dan berbagai aspek kehidupan lainnya didesain dan dilaksanakan.

Sejak masa Rasulullah SAW, masjid dimanfaatkan sedemikian rupa sebagai sarana kegiatan dakwah. Hal ini dapat dilihat dengan adanya momentum pendirian masjid pertama, yaitu masjid Quba yang pada masa itu dipergunakan untuk berbagai kegiatan, seperti tempat silaturrahim (komunikasi-interaktif), menyelenggarakan kegiatan proses belajar mengajar, mengelola baitul mal, menyusun strategi perang, melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan, hingga sebagai pusat merancang dan melaksanakan strategi dakwah.

Selain sebagai markas dakwah, masjid juga sebagai tempat kebutuhan umat Islam. Makanya,  dalam Muktamar Risalah al-Masjid di Makkah pada 1975, dijelaskan bahwa di masjid itu mesti ada: 1).Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. 2). Ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria, baik digunakan untuk shalat maupun untuk membina ketrampilan mereka. 3). Ruang pertemuan dan perpustakaan. 4). Ruang poliklinik dan ruang untuk mengurus jenazah. 5).Ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi kaum remaja.

Bahkan, Konfrensi Imam Masjid Internasional pernah dihelat di Pekanbaru, 2-6 Desember 2013. Acara besar yang menghadirkan imam masjid dari berbagai Negara Islam dan Eropa ini dapat dijadikan sebagai motifasi bagi Indonesia, dan Riau khususnya untuk melahirkan  para imam masjid yang berkualitas, hafiz dan faqih.

Penulis buku  Ahkam al-Imamah Wa al-I’timam Fi al-Shalah, Syaikh Abdul Muhsin al- Munif menjelaskan, Imam Hanbali mengatakan, lebih diutamakan imam itu orang yang banyak hafal Alquran daripada orang faqih (mengetahui hukum syariat). Buktinya, para sahabat yang pertama hijrah itu, melaksanakan salat sebelum sampai di Madinah. Dan yang menjadi imam  itu orang yang banyak hafalan Alquran, yaitu Salim. Padahal dalam barisan itu ada Umar bin Khattab dan Abu Salamah bin Abdul Asad (HR. al-Bukhari).

Namun begitu, Imam Syafi’i pula mengatakan, lebih diutamakan imam itu seorang yang faqih (orang yang mengerti hukum Islam). Buktinya, Rasulullah SAW mengutamakan Abu Bakar sebagai penggantinya menjadi imam. Padahal ada sahabat Nabi yang lebih banyak hafalan Alquran, yaitu Ubay bin Ka’ab (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Gabungan kedua pemikiran itu, maka syarat yang mesti ada pada diri imam shalat itu: Pertama, mengetahui hukum shalat dan hukum imam. Kedua, hafal semua Alquan, atau sebagiannya. Ketiga, mengetahui hukum tilawah (tajwid) Alquran. Keempat, punya akhlak mulia. Kelima, berpenampilan bagus sesuai dengan kedudukan imam shalat. Itu kesimpulan Dr. Abdullah Sa’id dalam bukunya Shalah al-Jama’ah Dirasah Fiqhiyah Muqaranah.

Masjid, sebagai tempat ibadah dan markas dakwah Islam, memerlukan alat pengeras suara, agar suara ibadah dan dakwah Islam itu bisa bergema di tengah masyarakat Islam. Ini sangat sesuai pernyataan penulis buku al-Azan wa al-Nida’ wa al-Iqamah, Dr. Sami al-Hazimy yang menukil fatwa Ulama al-Azhar dalam Majallah al-Azhar, edisi ke 25, menyatakan kebolehan menggunakan pengeras suara pada waktu khutbah Jumat, shalat, dan pengajian Islam.

Makanya, di berbagai Negara Islam, kumandang Khutbah Jumat, shalat berjamaah, ceramah pengajian itu terdengar gemanya di berbagai masjid. Hal ini sesuai dengan realita hidup, bahwa dakwah dengan perkataan (Khutbah, ceramah, pengajian) itu merupakan media utama dalam menyamapaikan syariat Islam. Sebagaimana Allah SWT memerintahkan para rasul utusannya menyampaikan agama-Nya melalui perkataan (QS: al-A’raf: 59, 104).

Cuma lagi, Surat Edaran itu sedikit memberikan batasan penggunaan pengeras suara terhadap ibadah shalat, doa, zikir, khutbah, pengajian, dan ceramah yang dilakukan di masjid. Semua itu tertulis dalam Surat Edaran, bahwa sholat, doa, pengumuman, khutbah, menggunakan pengeras suara kedalam. Pengajian Ramadhan dan tadarus menggunakan pengeras suara kedalam. Tabligh atau pengajian menggunakan pengeras suara kedalam, kecuali jamaahnya melimpah keluar. Ringkasnya,  selain azan, menggunakan pengeras suara kedalam.

Padahal, dalam menyiarkan dakwah, sarana yang dimiliki umat Islam itu hanya masjid. Jika suara sarana dakwah Islam ini dibatasi gerak jangkauan suaranya, maka akan semakin tidak kederangan lagi gema dakwah Islam di Tanah Air ini. Sebab, sebagaimana diketahui, di sebagian Negara tetangga (Singapura), bukan hanya dibatasi bunyi suara dakwah Islam di masjid, bahkan kumandang azan pun tidak dibolehkan menggunakan pengeras suara.

Makanya, Wakil Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Sa’adi menyarankan agar Kementerian Agama mengatur penggunaan pengeras suara tempat ibadah semua agama. Sebab, intruksi Dirjen tersebut bersifat diskriminatif, karena hanya mengatur rumah ibadah tertentu, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kecemburuan di tengah masyarakat. Bahkan, lebih tegas, Wakil Bupati Aceh Besar Husaini Abdul Wahhab menghimbau kepada seluruh Gambong (desa) untuk mengabaikan Surat Edaran itu.