web analytics

Siapa ”Bapak” Kita? (Prof. Dr. Alaidin Koto)

Guru Besar di Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau

Ketika terjadi keributan antara Indonesia dan Malaysia berapa tahun lalu tentang Pulau Sipadan dan Ligitan,  seorang teman yang sedang berkunjung ke salah satu universitas di Malaysia mendapat kata-kata yang kurang mengenakkan dari beberapa dosen dan  profesor yang ada di perguruan tinggi itu. Mereka berkata, “Indonesia tidak usahlah macam-macam kepada Malaysia. Kapal perang Inggris yang ada di Hongkong senantiasa siap siaga memberikan perlindungan kepada negara-negara persemakmuran yang mendapat ancaman dari negara lain. Negara mana yang akan memberikan perlindungan kepada Indonesia bila terjadi perang  dengan Malaysia?

Teman saya yang juga profesor itu tersulut emosinya mendengar kata-kata itu. Secara reaktif dia menjawab, “kami tidak perlu perlidungan siapa-siapa. Kami adalah bangsa pejuang yang tidak takut kepada siapa pun. Apakah Anda tidak tahu kalau kami merdeka dengan memerdekakan diri sendiri mengusir  penjajah. Hanya dengan semangat bambu runcing, kami  lawan Belanda dan tentara sekutu yang bersenjatakan lengkap dan modern. Bangsa Indonesia adalah bangsa pemberani, baik dulu maupun sekarang. Kemerdekaan Malaysia kan anugerah dari penjajah Inggris, bukan  karena perlawanan dan merebutnya dari  tangan  penjajah seperti yang kami lakukan.

Saya teringat kembali kisah singkat yang telah terjadi sekian lalu itu ketika kini  merasakan negeri ini sedang dikepung dan akan dikeroyok ramai-ramai oleh banyak bangsa lain yang ingin menancapkan kuku. Ada Amerika dengan  kapitalismenya, ada Cina dengan komunismenya, dan bahkan ada negara-negara kecil di sekeliling yang ingin ikut menompang mengambil kesempatan. Seolah-olah, Indonesia adalah negeri tidak punya “bapak” yang akan menjadi pelindung seperti yang dimiliki oleh Malaysia, Singapura dan negara-negara persemakmuran  lain di bawah bayang-bayang Inggris. Sepertinya, negeri ini bernasib malang, dijajah oleh bangsa “rakus” yang tidak mengenal kata terimakasih dan samasekali tidak ingin memberi kemerdekaan, sehingga harus dilawan dengan darah dan nyawa sendiri. Setelah pergi, lalu berlepas tangan tanpa ada rasa tanggung jawab sedikitpun atas perlakuan  tidak beradab  berabad-abad lamanya. Indonesia dibiarkan mengurus diri dan nasibnya sendiri tanpa ada “bapak” yang akan memberikan pelindungan (god father) bila datang gangguan dari bangsa lain, sebagaimana Inggris memberikan perlindungan kepada negara-negara yang pernah dijajahnya.  Bila bukan karena jiwa patriotisme  yang dianugerahkan Allah, sulit dicerna bangsa ini akan bebas dari penjajahan kaum kolonial, sehingga bangsa-bangsa lain akan berfikir berulangkali untuk menjajah Indonesia kembali.

Kini setelah berlalu sekian dasa warsa, sepertinya, jiwa itu tergerus sedemikian parahnya. Cinta tanah air yang dulu begitu kental dan tidak bisa ditawar dengan apapun, kini beralih menjadi cinta harta dan jabatan, cinta partai dan golongan, cinta suku dan kelompok. Perekat kebangsaan lepas dan meleleh karena terbakar oleh kepentingan-kepentinngan jangka pendek, sehingga perpecahan dan silangsengketa muncul di mana-mana, lalu dilirik oleh bangsa lain yang ingin menikmati kekayaan dan keelokkan negeri ini untuk kepentingan mereka. Suasana negeri ini mereka pandang  sangat kondisif untuk masuk dan menancapkan kuku. Negeri ini sudah begitu lemahnya karena tidak punya “bapak” yang patut disegani. Negeri ini sudah kehilangan rasa kebersamaan sebagai kekuatan yang dulu sangat diperhitungkan, ditambah dengan para elite yang lemah dan mudah dirayu oleh godaan-godaan kepentingan sesaat.

Lalu, betulkah kita tidak punya “bapak” sebagai pelindung ?

Adalah sebuah kekeliruan besar bila ada yang berkata seperti itu. Adalah sebuah ketidaksadaran yang amat berbahaya bila ada yang meyakini statemen itu. Karena, bukankah sejak dulu kita telah berjuang sendirian tanpa ada bangsa lain yang membantu untuk mengusir penjajah? Bukankah sejak dulu bangsa ini berjuang hanya dengan bermodalkan keyakinan yang kokoh bahwa hanya Allah sebagai pelindung yang sebenarnya, sehingga tidak ada yang mampu menggoyahkan perjuangan para pendahulu walau mulut meriam ada di depan kepala mereka ?  Mereka yakin sepenuhnya bahwa penolong atau pelindung kita bukan hanya ada, tetapi benar-benar ada dan sangat berkuasa, yaitu Allah Azza wa Jalla. Pekikan Allahu Akbar benar-benar keluar dari hati yang paling dalam bahwa hanya Allahlah Sang Penolong, hanya Allahlah Sang Pelindung, dan hanya kepada Allahlah satu-satunya tempat mengantungkan harapan untuk merdeka, bebas dari belenggu penjajahan yang zalim.

Kini, siapa pun yang masih memiliki nurani akan berkata bahwa  bangsa Indonesia sedang terancam kemerdekaan dan harga dirinya itu. Bangsa ini dibayang-bayangi rasa kekhawatiran yang sangat beralasan kalau penjajah itu sudah dekat dan bahkan sudah sangat dirasakan. Daratan negara yang begitu luas sudah dikuasai oleh orang asing lebih dari 70 persen. Penduduk negeri yang begitu banyak  sudah dibuat hampir-hampir tidak berdaya dililit kemiskinan dan keterbelakangan. Kekayaan negeri yang tidak terkira banyaknya sudah berada di tangan orang asing tanpa diketahui kenapa bisa seperti itu. Falsafah dan Undang-Undang Dasar negara yang disusun begitu baik dan sangat sesuai dengan kepribadian bangsa oleh para pendiri diacak-acak dan dijadikan barang mainan menuruti kehendak “calon penjajah,” sehingga tidak mampu lagi melindungi anak negeri sebagai payung hukum. Sepertinya, mereka benar-benar telah berkumpul dan bersatu untuk meluluhlantakkan bangsa dan negara yang didirikan dengan darah dan nyawa ini.

Maka, pantaskah kita untuk berkata bahwa kita tidak punya “bapak” pelindung, lalu membiarkan mereka mengoyak dan menerkam negeri ini sesuka hati?

Hanya orang kafirlah yang akan berkata seperti itu. Bangsa yang mayoritasnya beriman kepada Allah dengan Muhammad sebagai utusanNya pasti akan berkata bahwa Pelindung itu adalah dan hanyalah Allah, di atas dari semua pelindung yang ada.

Allahlah yang berkata kepada kita dalam surat ali Imran ayat 173, yang isinya hampir persis sama dengan kondisi bangsa Indonesia hari ini. Musuh-musuh kita telah dan sedang mengumpulkan pasukan untuk menyerang. Maka jangan takut kepada mereka, tapi takutlah hanya kepada Allah. “Cukuplah Allah yang menjadi pelindung, karena Dialah yang sebaik-baik pelindung.” Ayat inilah yang membuat para pahlawan bangsa ini tidak gentar sedikitpun menghadapi musuh, tidak mundur walau satu jari pun dalam menentang lawan, karena  yakin pertolongan Allah pasti datang. Mereka tidak minta tolong atau minta perlindungan kepada bangsa lain karena yakin tidak ada pelindung dan penolong yang lebih baik dari Allah. Minta tolong kepada manusia atau bangsa lain, sama artinya memberi kesempatan kepada orang untuk menanam budi yang sulit untuk dibayar. Para pahlawan mencukupkan hanya kepada Allah saja minta tolong (Baca: QS. 33:17). Tekad dan perjuangan mereka itulah yang kita petik buahnya, kemenangan dan kemerdekaan. Keyakinan itu mereka bubuhkan dalam pembukaan UUD 1945  bahwa kemerdekaan Indonesia adalah atas berkat rahmat Allah, bukan pemberian siapapun.

Maka, tiada cara lain untuk selamat dari ancaman seperti di atas selain kembali ke garis perjuangan awal, hidup dan mati di tangan Allah. Tawakal kepada Alah akan menurunkan rahmat dan perlindunganNya. Jangan takut kepada Amerika, kepada Eropa, kepada Cina, kepada Yahudi atau kepada siapa pun. Takut dan tawakallah hanya kepada Allah. Karena hanya Dialah yang Maha Kuasa dan Maha Pelindung. Rapatkan barisan seperti salat berjamaah. Ikuti imam yang benar juga seperti salat berjamaah. Lalu, tebarlah salam dan kebaikan untuk negeri dan saudara sebangsa atau juga seakidah. Inilah hakikat salat berjamaah, dan inilah hakikat ajaran Islam dalam bermasyarakat dan berbangsa, terutama dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang kini sedang diambang bencana.

Diposkan oleh Tim LIputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Selasa, 24 Januari 2017