web analytics

Kurban Orang Tidak Akikah? (Syamsuddin Muir)

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska

Pemerintah telah mengumumkan, Idul Adha (10 Zulhijjah) jatuh pada hari Senin, bertepatan pada 12 September 2016. Penetapan waktu Idul Adha oleh pemerintah ini sama dengan penetapan pemerintah Arab Saudi. Itu maknanya, jamaah haji wuquf di Arafah (9 Zulhijjah) itu pada hari Ahad, bertepatan tanggal 11 September.

Namun, ada masalah yang timbul di tengah masyarakat berkaitan dengan ibadah kurban. Yaitu adanya sebagian ustaz menegaskan tidak sah seseorang melakukan ibadah kurban, jika orang tersebut di masa kecilnya tidak ada buat akikah. Lalu, ustaz tersebut menyarankan buat akikah terlebih dahulu sebelum buat kurban.

Kemuliaan 10 Hari Awal Zulhijjah
Rasulullah SAW menegaskan, amal saleh pada sepuluh hari awal bulan Zulhijjah itu lebih disukai oleh Allah SWT daripada amal saleh pada hari-hari lain. Kecuali orang yang mati syahid di medan tempur dengan mengorbankan jiwa dan hartanya (HR al-Bukhari). Amal yang dimaksud pada hari itu mencakup ibadah, ketaatan, dan takbir.

Keagungan sepuluh awal Zulhijjah itu, karena Allah SWT bersumpah dengan menggunakan kata sepuluh malam-malam awal sepuluh Zulhijjah (QS: al-Fajr: 2). Rasulullah SAW juga mengatakan sepuluh hari awal Zulhijjah itu merupakan hari-hari mulia (HR al-Bukhari). Di dalamnya juga ada hari Arafah. Di dalam sepuluh hari awal Zulhijjah itu juga ada ibadah haji dan ibadah kurban.

Memang, ada hadis riwayat Imam Muslim, bahwa Sayyidah Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah SAW melakukan puasa pada sepuluh hari awal Zulhijjah. Kata Imam al-Nawawy dalam Syarh al-Nawawy ‘Ala Shahih Muslim (3/251), maksud hadis Sayyidah Aisyah itu bahwa Rasulullah SAW tidak puasa pada waktu itu jika dalam kondisi sakit atau musafir. Atau boleh jadi, Sayyidah Aisyah tidak mengetahui Rasulullah SAW puasa pada waktu itu.
Jawaban yang sama juga diutarakan oleh Imam al-Syaukani dalam kitabnya Nail al-Authar (4/324).

Kata Imam  Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitabnya Fath al-Bary (2/593), boleh jadi juga Rasulullah SAW tidak puasa pada hari-hari awal sepuluh Zulhijjah itu, karena beliau takut akan diwajibkan pula puasa sunat itu.

Artinya, puasa sunat dari 1 hingga 9 Zulhijjah itu merupakan amalan yang mulia. Terlebih lagi puasa sunat Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah. Begitu penegasan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Fiqh al-Shiyam.

Kemudian, ketika Rasulullah SAW ditanya mengenai kemuliaan puasa sunat pada hari Arafah, maka Rasulullah SAW mengatakan, puasa sunat Arafah itu menghapus dosa setahun lalu dan dosa setahun kemudian (HR Muslim).

Maksudnya, menghapus dosa kecil yang pernah dilakukan. Jika tidak ada, maka mengurangi dosa besar yang pernah dilakukan. Atau mengangkat derajatnya, jika tidak ada dosa besar dan dosa kecil pada diri orang tersebut.

Karena, dosa besar hanya bisa terhapus dengan taubat yang diterima oleh Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT memerintahkan hambanya agar melalukan taubat nasuha (QS: al-Tahrim: 8). Dan taubat nasuha itu dengan meninggalkan maksiat yang pernah dibuat. Menyesali perbuatan maksiat itu, dan bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Jika berkaitan dengan hak manusia, maka diselesaikan dulu perkara itu dengan orang yang bersangkutan. Begitu penjelasan Imam al-Nawawy dalam kitabnya Riyadh al-Shalihin.

Ibadah Kurban
Dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuh (3/595), Syaikh Wahbah al-Zuhaily menjelaskan, menurut Mazhab Hanafy ibadah kurban itu hukumnya wajib. Hal itu berdasarkan kepada hadis Rasulullah SAW yang berisi larangan salat di masjidnya bagi orang mampu yang tidak mau melaksanakan ibadah kurban (HR Imam Ahmad). Sebab, ancaman seperti itu tidak digunakan pada amalan sunat.

Tapi, mayoritas ulama mengatakan ibadah kurban itu sunat. Sebab, Rasulullah SAW menganjurkan kepada orang yang hendak berkurban, setelah masuk awal bulan Zulhijjah agar tidak memotong kuku dan rambut hingga orang tersebut selesai menyembelih hewan kurbannya (HR Muslim). Dalam hadis itu disebut kalimat “bagi orang yang hendak” yang menunjukkan ibadah kurban tidak wajib.

Tambah lagi, hadis riwayat Imam al-Tirmizy, Rasulullah SAW menyatakan kewajiban ibadah kurban atas dirinya, dan sunat atas umatnya.

Dikuatkan lagi dengan amalan sahabat, bahwa Abu Bakar Shiddiq dan Umar bin Khattab pernah tidak melakukan ibadah kurban, agar umat tidak menilai ibadah kurban itu wajib.

Ibadah Akikah
Bentuk rasa syukur atas kelahiran anak itu dengan membuat akikah untuk anak yang baru lahir. Dan mayoritas ulama mengatakan akikah itu hukumnya sunat. Tapi, sebagian kecil ulama pula mengatakan akikah itu wajib.

Dalam kitab Bulugh al-Maram, Imam Ibnu Hajar al-Asqalany menulis tiga hadits mengenai akikah.

Pertama, hadis Rasulullah SAW membuat akikah cucunya al-Hasan dengan satu kambing, dan al-Husein dengan satu kambing (HR Abu Dawud).

Kedua, hadis Rasulullah SAW yang menganjurkan dua ekor kambing untuk akikah anak lelaki, dan satu ekor kambing untuk akikah anak perempuan (HR al-Tirmizy).

Ketiga, hadis Rasulullah SAW menyatakan diri anak itu tergadai dengan akikahnya,disembelih pada hari ketujuh kelahirannya, dipotong rambutnya dan dibuat namanya (HR Ahmad).

Dari tiga hadis di atas dapat dipahami boleh saja buat akikah anak lelaki dengan satu ekor kambing. Kalau mampu, dianjurkan buat akikah anak lelaki itu dengan dua ekor kambing. Adapun maksud anak tergadai dengan akikah itu ialah seorang ayah yang punya kemampuan, lalu tidak membuat akikah anaknya, kemudian anak itu meninggal di waktu kecil, maka ayah itu tidak mendapatkan syafaat anaknya di akhirat kelak.

Namun, sebagian ulama pula memahami maksud “tergadai” itu adalah kewajiban membuat akikah anak bagi orang tua yang punya kemampuan. Keterangan ini bisa dilihat dalam kitab Bulugh al-Maram tahkik Alwi al-Saqqaf.

Akikah Dewasa
Nah, masalah yang timbul di tengah masyarakat itu ialah membuat akikah untuk diri sendiri setelah dewasa, atau setelah lanjut usia. Sebab, bisa dimaklumi ramainya orang lanjut usia pada hari ini yang pada masa kecilnya tidak dibuat akikah oleh orang tuanya. Mungkin saja, hal itu tidak dilakukan oleh orang tuanya karena tidak ada kemampuan mereka membuat akikah anaknya. Apakah orang dewasa atau lanjut usia itu dianjurkan membuat akikah dirinya sendiri?

Berbeda pendapat ulama menanggapi masalah ini. Di antaranya, Imam Syafi’i membolehkan orang dewasa atau lanjut usia membuat akikah untuk dirinya sendiri. Tapi, mayoritas ulama mengatakan tidak boleh. Bahkan Imam Malik mengatakan, membuat akikah untuk diri sendiri setelah dewasa atau tua itu tidak dikenal di Kota Madinah.

Bahkan, para ulama beda pendapat menanggapi hadis riwayat Imam al-Baihaqy dari Abdullah bin Muharrir dari Qatadah dari Anas yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW membuat akikah untuk dirinya setelah beliau diangkat menjadi Nabi utusan Allah SWT.

Mayoritas ulama mengatakan hadis itu lemah (dha’if). Sebagian kecil ulama, di antaranya Syaikh al-Albany dalam kitabnya Silsilah al-Ahadits al-Shahihah No. hadis 2.726 mengatakan hadis itu sahih.

Jadi, hukum akikah anak baru lahir itu sunat dilakukan bagi orang tua yang punya kemampuan. Jika tidak mampu, maka anak yang sudah dewasa, apalagi sudah tua itu tidak dianjurkan lagi membuat akikah untuk dirinya. Hanya sebagian riwayat pendapat Imam Syafi’i saja yang menganjurkan hal itu.

Maka, tidak ada dasar hukum mengatakan tidak boleh membuat ibadah kurban bagi orang yang tidak buat akikah di masa bayinya. Wallahu a’lam.

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News ( Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Kamis (9 September 2016)

redaksi@uin-suska.ac.id