web analytics

Rasa Malu (Prof. Dr. Akhmad Mujahidin)

Guru Besar UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Kini kita sedang berada di sebuah zaman, yang menunjukkan sebagian manusia sudah benar-benar lebih sesat dari binatang. Seorang anak membunuh ibunya, seorang ibu membunuh anaknya, seorang ayah memperkosa anaknya. Aurat dipertontonkan dengan menggunakan kecanggihan teknologi.

Harga diri dijual menjadi ajang komoditi, praktik korupsi, penipuan merajalela dan lain sebagainya. Ke mana hilangnya rasa malu pelaku kebiadaban moral saat ini?

Puasa mendidik manusia untuk memiliki rasa malu karena puasa pada hakikatnya bukan hanya menahan haus dan lapar, tapi juga menjaga hawa nafsu yang menyebabkan manusia terjerumus dalam kejahatan. Malu adalah suatu kondisi di mana kita merasa bersalah jika melakukan suatu perbuatan. Karena itu di dalam bahasa Inggris ashamed atau malu diartikan dengan troubled by guilty feeling atau merasa terganggu oleh adanya rasa bersalah. Harapannya, rasa malu ini bisa jadi pagar pengaman dari nafsu binatang kita yang kadang liar dan sulit terkendali.

Maka rasa malu bisa tercipta, pertama, atas dasar pemahaman diri sendiri tentang perasaan bersalah. Kedua, berdasarkan keyakinan suatu masyarakat dalam lokal budaya tertentu. Ini biasanya disebut dengan “kearifan lokal”. Ketiga, lahir dari pemahaman atas doktrin ketuhanan.

Salah satu ciri utama fitrah manusia adalah adanya rasa malu. Bila rasa malu hilang, manusia cenderung berbuat seperti binatang bahkan bisa lebih parah lagi. Allah berfirman: (QS. Al-A’raf (7) : 179). Artinya; Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Dalam sebuah kesempatan Rasulullah SAW bertemu seorang dari Ansar, yang sedang menasihati saudaranya yang pemalu. Mendengar itu, Rasulullah segera bersabda: dalam kitab Muwatta’ Ibn Malik juz 5, h. 389 “Biarkan dia demikian, karena rasa malu itu bagian dari iman” (HR Bukahri-Muslim). Dalam hadis lain, Rasulullah mengatakan: “Rasa malu semuanya baik’’ (HR Muslim).

Abu Sa’id Al Khudri pernah menggambarkan bahwa Rasulullah SAW lebih pemalu dari seorang gadis. ‘’Bila melihat sesuatu yang tidak ia sukai, tampak tanda rasa malu dari wajahnya’’ (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam kesempatan lain Rasullah mengkaitkan antara iman dan rasa malu: dalam sunan at-Turmudzi, juz. 7, h. 294. “Rasa malu adalah bagian dari iman, dan iman tempatnya di surga. Prilaku jelek adalah bagian dari kekeringan iman, keringnya iman tempatnya di neraka.”(HR. At.Turmudzi).

Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus selalu dijaga dan dipelihara, baik oleh individu, kelompok, terlebih bangsa ini. Kita sadari betapa tidak berhentinya petaka, bencana, yang melanda bangsa ini mungkin salah satunya diakibatkan oleh hilangnya rasa malu. Ketika pejabat malu berkorupsi, seorang pengusaha merasa malu jika terlambat memberi upah pada karyawannya. Artis malu memamerkan aurat, kita malu mengumbar kata-kata kotor maka yang terjadi adalah pembentukan budaya malu yang akan memajukan bangsa ini.

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Kamis (09 Juni 2016)

redaksi@uin-suska.ac.id