web analytics

Pesawat Hercules dan Pemimpin (Prof. Dr. Samsul Nizar)

Oleh Prof. Dr. Samsul Nizar

NEGERI ini kembali menangis karena sejumlah putra terbaiknya lagi-lagi gugur dalam tragedi pesawat, kali ini Hercules C 130 yang jatuh di Jalan Jamin Ginting Medan pada 30 Juni 2015 lalu. Tragedi yang menyedihkan ini menyisakan kesedihan yang sangat dalam, memilukan, dan menyesakkan. Tragedi ini bukan kali pertama yang terjadi, akan tetapi telah berulangkali merenggut sejumlah nyawa prajurit terbaik negeri ini dan sejumlah masyarakat sipil yang acapkali ikut menjadi korban. Peristiwa yang memilukan ini seyogyanya tak perlu dan tak boleh lagi terjadi.

Banyak faktor penyebab terjadinya kecelakaan pesawat Hercules C 130 di Medan lalu, antara lain: Pertama, faktor pesawat yang sudah berumur lebih setengah abad terhitung masa pembelian pesawat tersebut. Belum lagi tatkala pesawat yang dibeli merupakan pesawat bekas yang telah “beroperasi” sekian puluh tahun. Artinya, kemungkinan usia pesawat telah melebihi setengah abad yang diperkirakan bila dilihat dari masa perakitan pertamanya.  Kondisi ini sangat miris bagi negeri ini yang konon kaya dengan sumber daya alamnya yang melimpah, tetapi ternyata hanya mampu membeli pesawat bekas karena murah. Jika memang negeri ini tak memiliki kekayaan yang melimpah, kayaknya pembelian pesawat bekas menjadi sebuah kewajaran. Namun tatkala negeri ini memiliki kekayaan yang berlimpah, namun terbiasa membeli barang bekas berarti ada masalah.

Sebenarnya bukan persoalan pesawat TNI saja yang perlu diteliti kualitasnya, akan tetapi juga pada pesawat komersil lainnya yang ada di negeri ini yang acapkali terkesan layaknya barang relokasi. Demikian pula transportasi lainnya, baik transportasi darat seperti bus Trans Jakarta yang berulangkali mengalami kebakaran maupun transportasi laut yang sebagian merupakan barang bekas atau barang baru dengan standar rendah yang dibeli dan disuguhkan untuk rakyat. Begitu tak mampukah negeri ini memberikan yang terbaik bagi rakyatnya, meski setelah hampir 70 tahun merdeka?

Kedua, safety penerbangan yang “membingungkan”. Sebab, pesawat Hercules C 130 yang seyogyanya untuk keperluan TNI dan persenjataannya, ternyata membawa masyarakat sipil berikut amunisi yang tak sedikit jumlahnya. Kondisi ini sangat berbahaya bagi keselamatan penumpang. Padahal, pesawat Hercules tidak difasilitasi dengan fasilitas layaknya pesawat komersil, namun dapat membawa masyarakat sipil untuk terbang. Bahkan, penumpang tidak didaftarkan sebagai peserta asuransi, sehingga wajar bila para korban kecelakaan tidak mendapatkan santunan asuransi. Meski tidak merupakan kesalahan karena eksistensi TNI ikut membantu rakyat dalam lintas sejarah. Namun sebaiknya bila hal itu dilakukan, maka pengangkutan amunisi seyogyanya ditunda karena akan sangat berbahaya.

Kita tidak saatnya mencari kesalahannya di mana dan siapa yang salah atas tragedi yang menyayat hati tersebut. Kesedihan yang sama juga dirasakan oleh seluruh anak negeri ini, sembari memanjatkan belasungkawa dan doa kehadirat Allah agar mereka dimasukkan dalam surga-Nya. Namun demikian, pada waktu bersamaan saat ini yang perlu dilakukan adalah melakukan upaya mengoreksi seluruh sistem dan memperbaiki mekanisme elemen yang ada agar tragedi yang seirama tak akan pernah terjadi lagi. Pendekatan ini jauh lebih baik tatkala bangsa ini ingin tampil lebih baik di mata dunia pada masa yang akan datang dengan harga diri dan kualitas yang dapat dibanggakan.

Banyak pelajaran dari peristiwa kecelakaan pesawat Hercules C 130 di atas bagi penataan negeri ini agar lebih baik. Di antara pelajaran yang dapat diambil adalah:

Pertama, sesuatu yang sudah berumur, apakah manusia atau bukan, sebaiknya perlu lebih banyak istirahat karena energi yang dimiliki sudah tidak maksimal lagi. Jika akan dipaksakan juga, maka akan membawa kemudharatan. Sesuatu yang berumur akan jauh bernilai bila berada di musium bila berupa benda, atau sebagai penasehat bila ianya manusia untuk menjadi motivator bagi yang lebih muda. Para pemimpin negeri perlu belajar memberikan yang terbaik bagi anak negeri, bukan menanamkan hoby mengoleksi “barang bekas” sekadar mempertontonkan upaya memenuhkan berbagai “fasilitas berkualitas rendahan” yang ternyata berakibat timbulnya kesengsaraan bagi umat.

Lihatlah pelajaran yang diberikan pohon pepaya. Buah pepaya yang masak tak pernah berada di atas buah yang muda. Demikian pula buah yang muda tak pernah menyalip buah yang sudah masak. Pepaya memberikan pelajaran adanya estafet dan regenerasi agar kualitas buah yang dihasilkan lebih baik. Bukan asal berbuah saja, namun busuk dan penuh dengan ulat yang justru berakibat terbuang dalam kumpulan sampah yang membusuk. Bila pemimpin negeri ini mengambil i’tibar dari pesawat Hercules C 130, maka ia akan mampu meminimalkan “korban” generasi. Bila pemimpin dan generasi negeri ini mengambil i’tibar pohon pepaya, maka negeri akan saling asih dan asuh.

Kedua, perlu konsistensi aturan yang dibuat untuk dijalankan sesuai petunjuk yang ada. Tatkala aturan yang mengikat diikuti, maka keselamatan hidup akan terjaga. Hal yang sama juga bisa dilihat dari masa layak produk makanan. Bila makanan yang sudah kadaluarsa tetap dimakan, maka yang terjadi adalah keracunan makanan yang terkadang dapat merenggut nyawa. Demikian pula bila aturan tak diikuti secara benar atau ditafsirkan sesuka hati yang berangkat subyektivitas kepentingan kolegial-lokal, maka akan terjadi keserampangan kebijakan yang acapkali berakibat terjadinya kezaliman yang padu dan sistematis. Tatkala kondisi ini terjadi, maka kehancuran akan lebih bersifat masif dan korban yang ditimbulkan akan lebih dahsyat dibanding bom atom yang telah meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki.

Sudah saatnya semua insan di negeri ini berkaca diri atas tragedi demi tragedi yang terjadi silih berganti, seakan tiada henti menerpa dan menghimpit mereka yang tak bersalah. Alangkah indah bila momentum Ramadan yang berada di penghujung ini mampu memantapkan seluruh elemen bangsa untuk memperbaiki kesalahan melalui secercah kebaikan, memunculkan rasa malu yang sudah lama hilang berlalu, dan membangun harga diri yang lama mati. Tatkala sedemikian i’tibar tak mampu dipahami dan melanjutkan kesalahan yang sudah terjadi, maka sulit untuk muncul asa masa depan yang lebih berarti. Semuanya terpulang sejauhmana tingkat kecerdasan anak negeri menyikapi berbagai fenomena yang ada.

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News: Suardi, Donny, Azmi, PTIPD

Dikutip dari Riau Pos Edisi Senin, 6 Juli  2015

redaksi@uin-suska.ac.id

Leave a Reply